Kelompok : 12
Nama : DIAN
ARSITA
MOH.SAIFUL NIZAM
LUTFIANA MONICA
Kelas : 2 J
Jurusan : Ekonomi
Syariah
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen : Ahmad
Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum.M.Pd.
MUTLAQ,
MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
adalah kitab yang perlu dikaji mendalam, karena merupakan sumber hukum yang
pertama untuk kaum muslimin. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai
perdekatan dalam mengkaji Al-Qur’an adalah Ilmu Ushul Fiqih, yaitu ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum
syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang penting diketahui adalah Istinbath dari
segi kebahasan, salah satunya adalah lafadz muhtlaq,muqayyad, Mantuq dan
Mafhum. Dibawah ini akan membahas lafadz mutlaq,muqayyad, mantuq, mafhumsecara
mendalam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian mutlaq dan muqayyad
Kata
Muthlaq (مطلق ) dari segi bahasa berarti “suatu yang dilepas/tidak terikat”.
Dari akar kata yang sama lahir kata thalaq (talak), yakni lepasnya hubungan
suami maupun istri sudah tidak saling terikat. Sedangkan kata Muqayyad (مقيد ) dari segi bahasa
berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki kebebasan gerak
(terikat/mempunyai batasan)”.[1]dengan
kata lain lafadh muqaiyayad ialah lafadh mutlah yang diberikan kaitan dengan
lafadh lain sehingga artinya menjadi lebih tegas dan terbatas dari pada waktu masih mutlaq.[2]
Pengertian mutlaq dan muqayyad secara terminologi menurut
beberapa pakar Al-Qur’an, diantaranya:
1.
Manna Al-Qaththan
Mutlaq adalah lafadz
yang menunjukkan suatu hakikat (dalam suatu kelompok) tanpa suatu qayid (pembatas),[3]
hanya menunjukkan suatu dzat tanpa ditentukan (yang mana) dari (kelompok)
tersebut. Sedangkan muqayad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat
dengan qayid (pembatas).
2.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
Mutlaq yaitu:
مادلّ على فرد او افرادٍ شائعة بدون قيد مستقل لفظا.
“Lafadz yang
menunjuk kepada suatu benda atau beberapa anggota benda dengan jalan
berganti-ganti.”
Sedangkan
muqayad yaitu:
مادلّ على فرد او افرادٍ شائعة بقيد مستقل.
“Lafadz yang
menunjuk kepada suatu benda atau beberapa anggota benda dengan ada suatu
qayid.”[4]
3.
Abdul Hamid Hakim
Mutlaq adalah “Lafadz
yang menunjukkan sesuatu hakekat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa)
ikatannya.” Sedangkan muqayad adalah “Lafadz yang menunjukkan sesuatu
hakekat,dengan ada satu ikatan dari (beberapa) ikatannya.”
Jadi
penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pendapat diatas bahwa yang dinamakan mutlaq
adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid)
tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu
hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu.[5]
B. Contoh Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
1. Contoh Mutlaq
dalam firman Allah,
(. .
. فَتَحْرِيْرُ
رَقَبَةٍ . . . )المجادلة: 3
“Maka (wajib
atasnya) memerdekaan seorang hamba sahaya.” (Qs. Mujadalah: 3).
Lafadz (رَقَبَة ) adalah nakirah dalam
konteks kalimat positif. Maka disini berarti boleh memerdekakan hamba sahaya
yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.[6]
2. Contoh Muqayyad
dalam firman Allah,
(. .
. فَتَحْرِيْرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ. . . )النساء: 29
“Maka hendaklah
pembunuh itu memerdekakan budak yang beriman.” (Qs. An-Nisa’ 29).
Lafadz ٍةَبَق َ ر disini tidak sembarangan
hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan, hanyalah hamba sahaya yang
beriman.[7]
C. Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
Nas
yang mutlaq hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat ke-mutlaq-kannya
selama tidak ada dalil yang membatasinya, begitu juga dengan muqayyad.
Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang
menjelaskan sebab dan hukum tersebut.[8]
D. Pembagian Lafadz Mutlaq dan
Muqayyad
Lafadz
Mutlaq dan Muqayyad mempunyai bentuk-bentuk yang bersifat
rasional, bentuk-bentuk yang realistis sebagai berikut ini:
1.
Sebab dan hukumnya sama
Dalam
hal ini mutlaq harus ditarik pada yang muqayyad, artinya muqayyad
menjadi penjelasan mutlaq. Seperti “puasa” untuk kaffarah sumpah.
Lafadz itu dalam qiraah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan
secara mutlaq,
( فمَنْ لَمْ يجِدْ فصيامُ ثلثةِ أيّام ذلك كفّرة أيمنكم إذا حَلفْتمُْ . . . )المائدة: 92
“Barang siapa
tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffarahnya puasa selama tiga hari.
Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu
langgar)...” (Qs. al-Maidah: 92)
v Lafadz فصيامُ ثلثةِ أيّام itu di-muqayyad-kan
atau dibatasi dengan kata “at-tatabu”, yaitu berturut-turut seperti
dalam qiraah Ibnu Mas’ud:
v فصيامُ ثلثةِ أيّام مُتتَابِعَاتٍ.
“Maka
kaffarahnya adalah berpuasa selama tiga hari berturut-turut.”
Pengertian
lafadz yang mutlaq ditarik kepada yang muqayyad, karena “sebab”
yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan.[9]
2. Sebab sama
namun hukum berbeda
Dalam
hal ini masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya
sendiri.Contoh mutlaq yang menerangkan tentang tayamum:
التّيَمُمَ ضرْبَةٌ للوَجْهِ واليَدَينِ
.
“Tayamum ialah
sekali mengusap debu untuk muka dan kedua tangan.” (HR. Ammar).
Contoh muqayyad
yang menerangkan tentang wudhu:
( فاغسِلوا وُجوهَكُم وايد يكم الى المَرَافِقِ. )المائدة: 6
“Basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku” (Qs. al-Maidah: 6)
Ayat yang muqayyad
tidak bisa menjadi penjelas hadits yang mutlaq, karena berbeda hukum
yang dibicarakan yaitu wudhu dan tayamum meskipun sebabnya sama yaitu hendak
shalat atau karena hadats.[10]
1.
Sebab berbeda namun hukum sama. Dalam hal ini ada dua pendapat:
2.
Menurut golongan Syafi’i, mutlaq dibawa kepada muqayyad.
Menurut
golongan Hanafi dan Makiyah, mutlaq tetap pada tempatnya sendiri, tidak
dibawa kepada muqayyad.
Contoh mutlaq:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثمَُّ يَعوُدوُنَ لِمَا قَالوُا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا.
“Orang-orang
yang menzihar isterinya kemudian mereka hendak menarik apa yang mereka ucapakan
maka (wajib atasnya) memerdekakan hamba sahaya sebelum keduanya bercampur.”
(Qs. al-Mujadalah: 3).
Contoh muqayyad:
( وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
. . . )النساء: 29.
“Barang siapa
yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja (karena kekeliruan) maka
hendaklah membebaskan seorang hamba yang mukmin”. (Qs. an-Nisa’: 29).
Kedua
ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak. Sedangkan sebabnya
berbeda, yang ayat pertama karena zhahir dan yang ayat yang kedua karena
pembunuhan yang sengaja.[11]
3.
Sebab dan hukum berbeda
Dalam
hal ini masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya
sendiri. Muqayyad tidak menjelaskan mutlaq.
Contoh mutlaq:
( وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعوُا أَيْدِيَهُمَا . . . )المائدة: 39
“Pencuri
lelaki dan perempuan potonglah tangannya.”
Contoh muqayyad:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنوُا إِذَا قمُْتمُْ إِلَى الصَّلََةِ فَاغْسِلوُا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ . . .)
المائدة: 39
“Wahai orang
mukmin, apabila kamu hendak shalat, maka hendaklah basuh mukamu dan tanganmu
sampai siku.” (Qs. al-Maidah: 6).
Ayat yang muqayyad
tidak bisa menjadi penjelas yang mutlaq, karena berlainan sebab
yaitu hendak shalat dan pencurian dan berlainan pula dalam hukum yaitu wudhu
dan potong tangan.
B. MANTUQ DAN MAFHUM
1.
Pengertian Mantuq
Mantuq
adalah makna yang kandungan hukumnya dipahami dari apayang diucapkan, dengan
kata lain mantuq itu ialah makna yang tersurat(terucap), contohnya, “diharamkan
bagi kamu bangkai”. Mantuq dari ayat ini ialah bangkai itu hukumnya haram.
Menurut kitab mabadiulawwaliyah,mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh
suatu lafadz atau makna dalamtempat pengucapan. Arti lain mantuq yaitu makna
yang ditunjukkan olehsebuah lafadz, oleh wilayah pengucapan. Apabila lafadz
tersebut menghasilkanmakna yang tidak mungkin mengarah pada makna lain.[12]
Dan dalalah mantuqseperti yang di pakai oleh istilah hanafiyah, yaitu ibarat,
isyarat, dan iqtidanash.[13]
Oleh karena itumantuq ialah petunjuk lafadz pada hukum yang disebutoleh lafadz
itu sendiri.
2.
Pengertian Mafhum
Adapun
mafhum adalah petunjuk lafadz atau makna pada suatu hukum yang tidak disebutkan
oleh lafadz atau makna itu sendiri, dan dalalah mafhumini ialah tersirat (tidak
terucap). Pendapat lain mafhum adalah makna yangkandungan hukumnya dipahami
dari apa yang terdapat dibalik arti mantuq-nya.Dengan kata lain mafhum itu
disebut dengan makna tersirat. Dan makna yang ditunjuk oleh lafadz dan tidak
terdapat dalam wilayah pengucapannya. Apabilahukum mafhum selaras dengan
mantuq-nya, maka disebut mafhum muwafaqah, meskipun mafhum
menyamai mantuq, menurut pendapat Ashah.Maka tersebut berbentuk hukum sekaligus
mahal (penyandang) dari hukumtersebut (mahal al-hukm).
فَلا تَقُلْ لَھُمَا أُفٍّ وَلا تَنْھَرْھُمَا
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan“ah” dan jangan
kamu membentak keduanya. (Q.S Al-Isra’ ayat 23).
Dalam
ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum,pengertian mantuq yaitu
ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata: uffin) jangankamu katakan
perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkanmafhum yang tidak
disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (jugadilarang) karena lafadz-lafadz
yang mengandung kepada arti, diambil dari segipembicaraan yang nyata dinamakan
mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.Menurut para ulama’ ushul fiqh, bahwa
sebagian besar dalalah yang diuraikandi atas didasarkan pada teks.[14]
3.
Macam-macam Mantuq dan Mafhum
a.
Mantuq diklarifikasikan menjadi dua:
1) Nash, yakni manakala menghasilkan makna yang tidak terbuka kemungkinan
diarahkan pada makna lain. Contoh, lafadz”zaid” dalam kalimat جاء زید (zaid telah datang). Makna yang dihasilkan dari contoh
iniadalah sosok tertentu, tampa ada kemungkinan diarahkan pada makna lain.Atau
Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yangsecara tegas dan
tidak mengandung kemungkinan makna lain Seperti firmanAllah SWT QS. Surat
al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ یَجِدْ فَصِیَامُ ثَلاثَةِ أَیَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَ ةٌ
“Maka wajib
berpuasa 3 hari dalam (musim) haji dan tujuh hari lagi apabila
kamu telah
pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna”.
1)
Dzahir, yakni
manakala menghasilkan makna yang terbuka kemungkinan diarahkan pada makna yang
marjuh (lemah) sebagai pengganti makna yang pertama. Contoh, roaintu yaumal
azda (hari ini saya melihat Harimau). Lafadz الاسد memiliki makna hewan
buas, namun berpeluang diarahkan pada makna lelaki pemberani, dimana makna ini marjuh
karena termasuk makna
majas. Atau
suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
dipahami ketika
ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah seperti QS
al-Baqarah: 173.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَیْكُمُ الْمَیْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِیرِ وَمَا أُھِلَّ بِھِ لِغَیْرِ ا فَمَنِ اضْطُرَّ غیْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَیْھِ إِ ن
ا غَفُورٌ رَحِی م
“Sesungguhnya
dia hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”.
b.
Mafhum terbagi menjadi dua macam, muwafaqah, dan mukhalafah.
1)
Mafhum muwafaqah, yaitu
menetapkan hukum dari makna yang
sejalan atau
sepadan dengan makna mantuq-nya (yang diucapkan).[15]
Contohnya dalam
QS. Al-isra’/17; 32.
“Dan janganlah
kamu mendekati zina”.
Mafhum
muwafaqah dari ayat di atas adalah haram
mendekati zina,
berduaan,
berpacaran apalagi melakukan zina itu sendiri. Mafhum
muwafaqah
terbagi menjadi dua macam:
1. Fatwa al-Khitab, yaitu mafhum yang kapasitasnya lebih besar.[16] dibandingkan
makna mantuq-nya. Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَھُمَا أُ ف
“Janganlah
kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang tua”.
Sedangkan
kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya. Contoh, mafhum
berupa memukul orang tua, dengan mantuq berupa berkata kasar kepada orang tua
dalam QS. Al-Isra’:23 di atas. Dalam hal ini mafhum, yakni memukul tingkatannya
lebih berat dibandingkan berkata kasar dilihat dari aspek menyakitinya.
2. Lahn al-Khithab, yaitu mafhum yang kapasitasnya menyamai
mantuq.
Contoh, membakar harta anak yatim yang dipahami dari mantuq atas. Seperti
firman Allah SWT:
إنَّ الَّذِیْنَ یَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْیَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا یَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِھِمْ نَارًاصلى وَسَیَصْلَوْن سَعِ یْ ر
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya
memakan api kedalam perut mereka”.
2) Mahfum mukhalafah, adalah makna mafhum
yang tidak selaras
dengan mantuq-nya dari sisi hukumya. Mafhum mukhalafah disebut
juga dengan dhalilul khitib. Atau pengertian yang dipahami berbeda
dengan ucapan, baik dalam istimbaht (menetapkan) maupun nafi (meniadakan).[17]
Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal
yang Seperti dalam firman Allah SWT seperti QS al-Jum’ah ayat: 9.
إذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ یَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ ا وَذَرُوا الْبَیْعَ
“Apabila
kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah
kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli”.
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari
jum’atsebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.Dan
menurut pendapat ulama Hanafiyah tidak memandang mafhummukhalafah sebagai
salah satu metode penafsiran nash-nash syara’. Tegasnyamenurut mereka, mafhum
mukhalafah bukan suatu metode untuk penetapanhukum.
STUDY KASUS
MAJALENGKA -
Siti Helisah (24) warga Blok Jumat RT 01 RW 06 Desa Nanggewer, Kecamatan Sukahaji,
Kabupaten Majalengka. anak sulung dari delapan bersaudara ini rela merantau
menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) sejak 2008
lalu. Sayangnya, mimpinya berakhir dengan penderitaan.Betapa tidak, tujuh tahun
menjadi TKI bukanlah waktu yang singkat. Mimpi bisa pulang ke tanah kelahiran
membawa secercah senyum dan dengan sejumlah hasil kerja, pupus sudah.Karena
faktanya, saat di Dubai, Siti takmendapatkan kebahagiaan layaknya cerita yang
disampaikan teman-temannya yang lebih dulu berangkat. Selasa (27/1/2015).Siti
berkisah, dia berangkat ke Dubai, UEA pada tahun 2008 silam karena faktor
ekonomi keluarganya. Yang dia ingat, saat pertama bekerja dalam dokumen kontrak
kerja majikan yang akan memperkerjakannya adalah Masuma Abdullah."Tapi
kenyataannya majikannya bukan dia, melainkan orang lain dengan nama Ibrahim.
Jadi, hanya pinjam nama saja," kata dia.Siti pun mengaku, tidak tahu
perusahan apa yang memberangkatkannya ke Dubai. "Tapi sebelum berangkat,
di Jakarta saya disimpan di sebuah penampungan. Hingga akhirnya saya ke Dubai,
UEA. Dia mengaku sudah tujuh tahun lamanya di Uni Emirat Arab. Sebagai tulang
punggung keluarga dia rela bekerja apapun demi membantu orang tua dan adik-adiknya.
Terakhir .Selama bekerja dengan Faisal, Siti mengaku tidak digaji selama lima
bulan. Malah, dia mendapat perlakukan yang tidak senonoh dari adik majikannya,
Jalal. "Saya kerap digoda majikan sampai mau diperkosa Jalal, adik
majikan saya," kisah putri pasangan Ojo Sunarso (50) dan Isah Ukasah
(45) itu.Siti mengaku, setiap hari dia tidak bisa bekerja dengan optimal
lantaran pikirannya selalu dihantui rasa takut diperkosa. Jalal menurut
pengakuan Siti, kerap masuk ke kamarnya dan memaksanya untuk berhubungan intim.
Itulah yang
akhirnya membuatnya sering melamun dan ketakutan. Sampai kemudian, saat saya
tengah membersihkan rumah, saya terpeleset jatuh dari lantai dua yang tingginya
kurang lebih 10 meter hingga ambruk ke lantai satu. Tangga itu tidak ada
pegangannya," katanya.Saat terjatuh, kaki kanannya menahan, tapi Siti
mengaku tidak kuat. "Hingga punggung saya langsung ambruk ke lantai. sang
majikan tidak langsung membawanya ke rumah sakit. Dan Alhamdulillah, saya bisa pulang
dan masih bisa bernafas, meski sebelumnya ketika bekerja saya sudah berusaha
ingin kabur dari rumah majikan, Kendati akhirnya bisa pulang dengan derita yang
dialaminya, gadis kelahiran 26 Desember 1990 ini, mengaku belum menerima hak
dan gajinya selama 5 bulan bekerja di rumah majikannya. .Siti menuturkan, saat ini kakinya
masih lumpuh dengan 20 jahitan. Konsultan Bantuan Hukum, Dia pun akan menuntut
kepada pihak terkait untuk terus memberikan biaya pengobatan terhadap korban
dan menuntut hak-haknya yang saat ini belum dibayarkan Kita akan tuntut
persoalan ini dengan cara menghubungi Kementerian Tenaga Kerja RI, PJTKI, dan
lembaga terkait lainnya untuk memberikan bantuan hukum dan mengembalikan
haknya," tandasnya.
KESIMPULAN
Mutlaq adalah
lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid)
tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukan suatu
hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu. Lafadz mutlaq menjadi
tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum
tersebut. Pembagian lafadz mutlaq dan muqayyad ada empat
bentuk-bentuk yang realistis yaitu: sebab dan hukumnya sama, sebab sama namun
hukum berbeda, sebab berbeda namun hukum sama, sebab dan hukum berbeda.
Mantuq adalah makna yang kandungan hukumnya dipahami
dari apayang diucapkan, dengan kata lain mantuq itu ialah makna yang
tersurat(terucap), contohnya, “diharamkan bagi kamu bangkai”. Mantuq dari ayat
iniialah bangkai itu hukumnya haram. Adapun mafhum adalah petunjuk lafadz atau
makna pada suatu hukumyang tidak disebutkan oleh lafadz atau makna itu sendiri,
dan dalalah mafhumini ialah tersirat (tidak terucap).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna. (2011) Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. (1981). Pengantar
Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hakim, Abdul Hamid. (2007). As-Sullam,.
Jakarta: Pustaka As-Sa’adiyah Putra.
Hanafie, A. (1993). Usul Fiqih, Jakarta:
Widjaya.
Karim, Syafi’i. (2006). Fiqih
Ushul Fiqih. Bandug: CV Pustaka Setia.
Shihab, Quraish. (2013). Kaidah
Tafsir. Tanggerang: Lentera Hati.
Zamroni, Anang & Suratno. (2013) Mendalami Fikih 2, Ttp:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Kafabihi Mahrus, Abdulloh(2014).Lubb Al- Ushul. Lirboyo: Santri Salaf
Press. Syafe’i, Rachmat. (2010) Ilmu
Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia
[1] M.Quraish Shihab, Kaidah tafsir,(
Tanggerang : Lentera hati, 2013) hlm 188
[2] Peunoh Daly, Quraisy Syihab, Qaidah-
Qaidah Istinbath dan Ijtihad( jakarta : IAIN , 1986) hlm 50
[3]Manna Al-Quththan,Pengantar Study
Ilmu AL-Qur’an, ( Jakarta : Pustaka Al-Kausar,2011) hlm 304-305
[4] T.M Hasbi Ash-Shiddieqh, pengantar
hukum islam,( Jakarta : Bulan Bintang, 1981), hlm 60-61
[5] Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, (
Jakarta : Pustaka As-Sa’adiyah putra, 2007) hlm 32
[6] Manna Al-Qaththan, Pengantar
study Ilmu Al-Qur’an, hlm 304
[7] Syafi’i Karin, Ushul Fiqih (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2006) hlm 171-172
[8] Anang Zamroni, Suratno, mendalami fiqih 2, ( PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2013) hlm 62
[9] Manna Al-Qaththan, Pengantar Study ilmu Al-Qur’an, hlm 305-306
[10] Hanafie, Ushul fiqih,( Jakarta : Wijaya,1993), hlm 76
[11] Syafi’i Karim, Ushul fiqih hlm 175-176
[12] Juhana, ILMU USHUL FIQIH I ( Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) hlm 55.
[13] Rachmat Syafe’I, ILMU USHUL
FIQIH (Bandung : Pustaka setia,1999) hlm 215
[14] Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul ( lirboyo: Santri Salaf
Press, 2014) hlm 96
[15]Rachmat Syafe’i, ILMU USHUL FIQIH, cet IV ( Bandung: CV Pustaka
setia,2010) hlm 216
[16]Rachmat syafe’i, Maman Djaliel, ilmu ushul fiqih, (Bandung : CV Pustaka
Setia 1999) hlm 134