Senin, 19 Juni 2017

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

 

Kelompok : 12

Nama               : DIAN ARSITA
                          MOH.SAIFUL NIZAM
                          LUTFIANA MONICA
Kelas               : 2 J
Jurusan            : Ekonomi Syariah
Mata Kuliah    : Ushul Fiqih
Dosen              : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum.M.Pd.

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab yang perlu dikaji mendalam, karena merupakan sumber hukum yang pertama untuk kaum muslimin. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai perdekatan dalam mengkaji Al-Qur’an adalah Ilmu Ushul Fiqih, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasan, salah satunya adalah lafadz muhtlaq,muqayyad, Mantuq dan Mafhum. Dibawah ini akan membahas lafadz mutlaq,muqayyad, mantuq, mafhumsecara mendalam.


PEMBAHASAN
A.  Pengertian mutlaq dan muqayyad
Kata Muthlaq (مطلق ) dari segi bahasa berarti “suatu yang dilepas/tidak terikat”. Dari akar kata yang sama lahir kata thalaq (talak), yakni lepasnya hubungan suami maupun istri sudah tidak saling terikat. Sedangkan kata Muqayyad (مقيد ) dari segi bahasa berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki kebebasan gerak (terikat/mempunyai batasan)”.[1]dengan kata lain lafadh muqaiyayad ialah lafadh mutlah yang diberikan kaitan dengan lafadh lain sehingga artinya menjadi lebih tegas dan terbatas  dari pada waktu masih mutlaq.[2] Pengertian mutlaq dan muqayyad secara terminologi menurut beberapa pakar Al-Qur’an, diantaranya:
1.      Manna Al-Qaththan
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat (dalam suatu kelompok) tanpa suatu qayid (pembatas),[3] hanya menunjukkan suatu dzat tanpa ditentukan (yang mana) dari (kelompok) tersebut. Sedangkan muqayad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayid (pembatas).
2.      T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
Mutlaq yaitu:
مادلّ على فرد او افرادٍ شائعة بدون قيد مستقل لفظا.
“Lafadz yang menunjuk kepada suatu benda atau beberapa anggota benda dengan jalan berganti-ganti.”
Sedangkan muqayad yaitu:
مادلّ على فرد او افرادٍ شائعة بقيد مستقل.
“Lafadz yang menunjuk kepada suatu benda atau beberapa anggota benda dengan ada suatu qayid.”[4]
3.       Abdul Hamid Hakim
Mutlaq adalah “Lafadz yang menunjukkan sesuatu hakekat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa) ikatannya.” Sedangkan muqayad adalah “Lafadz yang menunjukkan sesuatu hakekat,dengan ada satu ikatan dari (beberapa) ikatannya.”
Jadi penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pendapat diatas bahwa yang dinamakan mutlaq adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid) tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu.[5]
B. Contoh Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
1. Contoh Mutlaq dalam firman Allah,
(. . . فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ . . . )المجادلة: 3
“Maka (wajib atasnya) memerdekaan seorang hamba sahaya.” (Qs. Mujadalah: 3).
Lafadz (رَقَبَة ) adalah nakirah dalam konteks kalimat positif. Maka disini berarti boleh memerdekakan hamba sahaya yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.[6]
2. Contoh Muqayyad dalam firman Allah,
(. . . فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ. . . )النساء: 29
“Maka hendaklah pembunuh itu memerdekakan budak yang beriman.” (Qs. An-Nisa’ 29).
Lafadz ٍةَبَق َ ر disini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan, hanyalah hamba sahaya yang beriman.[7]
C. Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
Nas yang mutlaq hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat ke-mutlaq-kannya selama tidak ada dalil yang membatasinya, begitu juga dengan muqayyad. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut.[8]
D. Pembagian Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
Lafadz Mutlaq dan Muqayyad mempunyai bentuk-bentuk yang bersifat rasional, bentuk-bentuk yang realistis sebagai berikut ini:
1. Sebab dan hukumnya sama
Dalam hal ini mutlaq harus ditarik pada yang muqayyad, artinya muqayyad menjadi penjelasan mutlaq. Seperti “puasa” untuk kaffarah sumpah. Lafadz itu dalam qiraah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara mutlaq,
( فمَنْ لَمْ يجِدْ فصيامُ ثلثةِ أيّام ذلك كفّرة أيمنكم إذا حَلفْتمُْ . . . )المائدة: 92
“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)...” (Qs. al-Maidah: 92)
v  Lafadz فصيامُ ثلثةِ أيّام itu di-muqayyad-kan atau dibatasi dengan kata “at-tatabu”, yaitu berturut-turut seperti dalam qiraah Ibnu Mas’ud:
v  فصيامُ ثلثةِ أيّام مُتتَابِعَاتٍ.
“Maka kaffarahnya adalah berpuasa selama tiga hari berturut-turut.”
Pengertian lafadz yang mutlaq ditarik kepada yang muqayyad, karena “sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan.[9]
2. Sebab sama namun hukum berbeda
Dalam hal ini masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.Contoh mutlaq yang menerangkan tentang tayamum:
التّيَمُمَ ضرْبَةٌ للوَجْهِ واليَدَينِ .
“Tayamum ialah sekali mengusap debu untuk muka dan kedua tangan.” (HR. Ammar).
Contoh muqayyad yang menerangkan tentang wudhu:
( فاغسِلوا وُجوهَكُم وايد يكم الى المَرَافِقِ. )المائدة: 6
Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku” (Qs. al-Maidah: 6)
Ayat yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelas hadits yang mutlaq, karena berbeda hukum yang dibicarakan yaitu wudhu dan tayamum meskipun sebabnya sama yaitu hendak shalat atau karena hadats.[10]
1.      Sebab berbeda namun hukum sama. Dalam hal ini ada dua pendapat:
2.      Menurut golongan Syafi’i, mutlaq dibawa kepada muqayyad.
Menurut golongan Hanafi dan Makiyah, mutlaq tetap pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad.
Contoh mutlaq:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثمَُّ يَعوُدوُنَ لِمَا قَالوُا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا.
Orang-orang yang menzihar isterinya kemudian mereka hendak menarik apa yang mereka ucapakan maka (wajib atasnya) memerdekakan hamba sahaya sebelum keduanya bercampur.” (Qs. al-Mujadalah: 3).
Contoh muqayyad:
( وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ . . . )النساء: 29.
“Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja (karena kekeliruan) maka hendaklah membebaskan seorang hamba yang mukmin”. (Qs. an-Nisa’: 29).
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak. Sedangkan sebabnya berbeda, yang ayat pertama karena zhahir dan yang ayat yang kedua karena pembunuhan yang sengaja.[11]
3.     Sebab dan hukum berbeda
Dalam hal ini masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Muqayyad tidak menjelaskan mutlaq.
Contoh mutlaq:
( وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعوُا أَيْدِيَهُمَا . . . )المائدة: 39
Pencuri lelaki dan perempuan potonglah tangannya.
Contoh muqayyad:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنوُا إِذَا قمُْتمُْ إِلَى الصَّلََةِ فَاغْسِلوُا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ . . .)
المائدة: 39
Wahai orang mukmin, apabila kamu hendak shalat, maka hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku.” (Qs. al-Maidah: 6).
Ayat yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelas yang mutlaq, karena berlainan sebab yaitu hendak shalat dan pencurian dan berlainan pula dalam hukum yaitu wudhu dan potong tangan.

B.  MANTUQ DAN MAFHUM
1.    Pengertian  Mantuq
Mantuq adalah makna yang kandungan hukumnya dipahami dari apayang diucapkan, dengan kata lain mantuq itu ialah makna yang tersurat(terucap), contohnya, “diharamkan bagi kamu bangkai”. Mantuq dari ayat ini ialah bangkai itu hukumnya haram. Menurut kitab mabadiulawwaliyah,mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz atau makna dalamtempat pengucapan. Arti lain mantuq yaitu makna yang ditunjukkan olehsebuah lafadz, oleh wilayah pengucapan. Apabila lafadz tersebut menghasilkanmakna yang tidak mungkin mengarah pada makna lain.[12] Dan dalalah mantuqseperti yang di pakai oleh istilah hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat, dan iqtidanash.[13] Oleh karena itumantuq ialah petunjuk lafadz pada hukum yang disebutoleh lafadz itu sendiri.
2.      Pengertian  Mafhum
Adapun mafhum adalah petunjuk lafadz atau makna pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafadz atau makna itu sendiri, dan dalalah mafhumini ialah tersirat (tidak terucap). Pendapat lain mafhum adalah makna yangkandungan hukumnya dipahami dari apa yang terdapat dibalik arti mantuq-nya.Dengan kata lain mafhum itu disebut dengan makna tersirat. Dan makna yang ditunjuk oleh lafadz dan tidak terdapat dalam wilayah pengucapannya. Apabilahukum mafhum selaras dengan mantuq-nya, maka disebut mafhum muwafaqah, meskipun mafhum menyamai mantuq, menurut pendapat Ashah.Maka tersebut berbentuk hukum sekaligus mahal (penyandang) dari hukumtersebut (mahal al-hukm).
فَلا تَقُلْ لَھُمَا أُفٍّ وَلا تَنْھَرْھُمَا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan“ah” dan jangan kamu membentak keduanya. (Q.S Al-Isra’ ayat 23).
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum,pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata: uffin) jangankamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkanmafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (jugadilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segipembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.Menurut para ulama’ ushul fiqh, bahwa sebagian besar dalalah yang diuraikandi atas didasarkan pada teks.[14]
3.      Macam-macam Mantuq dan Mafhum
a.     Mantuq diklarifikasikan menjadi dua:
1)      Nash, yakni manakala menghasilkan makna yang tidak terbuka kemungkinan diarahkan pada makna lain. Contoh, lafadz”zaid” dalam kalimat جاء زید (zaid telah datang). Makna yang dihasilkan dari contoh iniadalah sosok tertentu, tampa ada kemungkinan diarahkan pada makna lain.Atau Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yangsecara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain Seperti firmanAllah SWT QS. Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ یَجِدْ فَصِیَامُ ثَلاثَةِ أَیَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَ ةٌ
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam (musim) haji dan tujuh hari lagi apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna”.
1)      Dzahir, yakni manakala menghasilkan makna yang terbuka kemungkinan diarahkan pada makna yang marjuh (lemah) sebagai pengganti makna yang pertama. Contoh, roaintu yaumal azda (hari ini saya melihat Harimau). Lafadz الاسد memiliki makna hewan buas, namun berpeluang diarahkan pada makna lelaki pemberani, dimana makna ini marjuh karena termasuk makna
majas. Atau suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah seperti QS al-Baqarah: 173.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَیْكُمُ الْمَیْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِیرِ وَمَا أُھِلَّ بِھِ لِغَیْرِ ا فَمَنِ اضْطُرَّ غیْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَیْھِ إِ ن
ا غَفُورٌ رَحِی م
“Sesungguhnya dia hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”.
b.    Mafhum terbagi menjadi dua macam, muwafaqah, dan mukhalafah.
1)         Mafhum muwafaqah, yaitu menetapkan hukum dari makna yang
sejalan atau sepadan dengan makna mantuq-nya (yang diucapkan).[15]
Contohnya dalam QS. Al-isra’/17; 32.
“Dan janganlah kamu mendekati zina”.
Mafhum muwafaqah dari ayat di atas adalah haram mendekati zina,
berduaan, berpacaran apalagi melakukan zina itu sendiri. Mafhum
muwafaqah terbagi menjadi dua macam:
1.      Fatwa al-Khitab, yaitu mafhum yang kapasitasnya lebih besar.[16] dibandingkan makna mantuq-nya. Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَھُمَا أُ ف
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang tua”.
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya. Contoh, mafhum berupa memukul orang tua, dengan mantuq berupa berkata kasar kepada orang tua dalam QS. Al-Isra’:23 di atas. Dalam hal ini mafhum, yakni memukul tingkatannya lebih berat dibandingkan berkata kasar dilihat dari aspek menyakitinya.
2.      Lahn al-Khithab, yaitu mafhum yang kapasitasnya menyamai
mantuq. Contoh, membakar harta anak yatim yang dipahami dari mantuq atas. Seperti firman Allah SWT:
إنَّ الَّذِیْنَ یَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْیَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا یَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِھِمْ نَارًاصلى وَسَیَصْلَوْن سَعِ یْ ر
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
2)       Mahfum mukhalafah, adalah makna mafhum yang tidak selaras
dengan mantuq-nya dari sisi hukumya. Mafhum mukhalafah disebut juga dengan dhalilul khitib. Atau pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istimbaht (menetapkan) maupun nafi (meniadakan).[17] Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang Seperti dalam firman Allah SWT seperti QS al-Jum’ah ayat: 9.
إذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ یَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ ا وَذَرُوا الْبَیْعَ
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli”.
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’atsebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.Dan menurut pendapat ulama Hanafiyah tidak memandang mafhummukhalafah sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara’. Tegasnyamenurut mereka, mafhum mukhalafah bukan suatu metode untuk penetapanhukum.

STUDY KASUS
MAJALENGKA - Siti Helisah (24) warga Blok Jumat RT 01 RW 06 Desa Nanggewer, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka. anak sulung dari delapan bersaudara ini rela merantau menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) sejak 2008 lalu. Sayangnya, mimpinya berakhir dengan penderitaan.Betapa tidak, tujuh tahun menjadi TKI bukanlah waktu yang singkat. Mimpi bisa pulang ke tanah kelahiran membawa secercah senyum dan dengan sejumlah hasil kerja, pupus sudah.Karena faktanya, saat di Dubai, Siti takmendapatkan kebahagiaan layaknya cerita yang disampaikan teman-temannya yang lebih dulu berangkat. Selasa (27/1/2015).Siti berkisah, dia berangkat ke Dubai, UEA pada tahun 2008 silam karena faktor ekonomi keluarganya. Yang dia ingat, saat pertama bekerja dalam dokumen kontrak kerja majikan yang akan memperkerjakannya adalah Masuma Abdullah."Tapi kenyataannya majikannya bukan dia, melainkan orang lain dengan nama Ibrahim. Jadi, hanya pinjam nama saja," kata dia.Siti pun mengaku, tidak tahu perusahan apa yang memberangkatkannya ke Dubai. "Tapi sebelum berangkat, di Jakarta saya disimpan di sebuah penampungan. Hingga akhirnya saya ke Dubai, UEA. Dia mengaku sudah tujuh tahun lamanya di Uni Emirat Arab. Sebagai tulang punggung keluarga dia rela bekerja apapun demi membantu orang tua dan adik-adiknya. Terakhir .Selama bekerja dengan Faisal, Siti mengaku tidak digaji selama lima bulan. Malah, dia mendapat perlakukan yang tidak senonoh dari adik majikannya, Jalal. "Saya kerap digoda majikan sampai mau diperkosa Jalal, adik majikan saya," kisah putri  pasangan Ojo Sunarso (50) dan Isah Ukasah (45) itu.Siti mengaku, setiap hari dia tidak bisa bekerja dengan optimal lantaran pikirannya selalu dihantui rasa takut diperkosa. Jalal menurut pengakuan Siti, kerap masuk ke kamarnya dan memaksanya untuk berhubungan intim.  Itulah yang akhirnya membuatnya sering melamun dan ketakutan. Sampai kemudian, saat saya tengah membersihkan rumah, saya terpeleset jatuh dari lantai dua yang tingginya kurang lebih 10 meter hingga ambruk ke lantai satu. Tangga itu tidak ada pegangannya," katanya.Saat terjatuh, kaki kanannya menahan, tapi Siti mengaku tidak kuat. "Hingga punggung saya langsung ambruk ke lantai. sang majikan tidak langsung membawanya ke rumah sakit. Dan Alhamdulillah, saya bisa pulang dan masih bisa bernafas, meski sebelumnya ketika bekerja saya sudah berusaha ingin kabur dari rumah majikan, Kendati akhirnya bisa pulang dengan derita yang dialaminya, gadis kelahiran 26 Desember 1990 ini, mengaku belum menerima hak dan gajinya selama 5 bulan bekerja di rumah majikannya. .Siti menuturkan, saat ini kakinya masih lumpuh dengan 20 jahitan. Konsultan Bantuan Hukum, Dia pun akan menuntut kepada pihak terkait untuk terus memberikan biaya pengobatan terhadap korban dan menuntut hak-haknya yang saat ini belum dibayarkan Kita akan tuntut persoalan ini dengan cara menghubungi Kementerian Tenaga Kerja RI, PJTKI, dan lembaga terkait lainnya untuk memberikan bantuan hukum dan mengembalikan haknya," tandasnya.  


KESIMPULAN
Mutlaq adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid) tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukan suatu hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut. Pembagian lafadz mutlaq dan muqayyad ada empat bentuk-bentuk yang realistis yaitu: sebab dan hukumnya sama, sebab sama namun hukum berbeda, sebab berbeda namun hukum sama, sebab dan hukum berbeda.
Mantuq adalah makna yang kandungan hukumnya dipahami dari apayang diucapkan, dengan kata lain mantuq itu ialah makna yang tersurat(terucap), contohnya, “diharamkan bagi kamu bangkai”. Mantuq dari ayat iniialah bangkai itu hukumnya haram. Adapun mafhum adalah petunjuk lafadz atau makna pada suatu hukumyang tidak disebutkan oleh lafadz atau makna itu sendiri, dan dalalah mafhumini ialah tersirat (tidak terucap).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna. (2011) Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. (1981). Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hakim, Abdul Hamid. (2007). As-Sullam,. Jakarta: Pustaka As-Sa’adiyah Putra.
Hanafie, A. (1993). Usul Fiqih, Jakarta: Widjaya.
Karim, Syafi’i. (2006). Fiqih Ushul Fiqih. Bandug: CV Pustaka Setia.
Shihab, Quraish. (2013). Kaidah Tafsir. Tanggerang: Lentera Hati.
Zamroni, Anang & Suratno. (2013) Mendalami Fikih 2, Ttp: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Kafabihi Mahrus, Abdulloh(2014).Lubb Al- Ushul. Lirboyo: Santri Salaf Press. Syafe’i, Rachmat. (2010) Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia



[1] M.Quraish Shihab, Kaidah tafsir,( Tanggerang : Lentera hati, 2013) hlm 188
[2] Peunoh Daly, Quraisy Syihab, Qaidah- Qaidah Istinbath dan Ijtihad( jakarta : IAIN , 1986) hlm 50
[3]Manna Al-Quththan,Pengantar Study Ilmu AL-Qur’an, ( Jakarta : Pustaka Al-Kausar,2011) hlm 304-305
[4] T.M Hasbi Ash-Shiddieqh, pengantar hukum islam,( Jakarta : Bulan Bintang, 1981), hlm 60-61
[5] Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, ( Jakarta : Pustaka As-Sa’adiyah putra, 2007) hlm 32
[6] Manna Al-Qaththan, Pengantar study Ilmu Al-Qur’an, hlm 304
[7] Syafi’i Karin, Ushul Fiqih (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006) hlm 171-172
[8] Anang Zamroni, Suratno, mendalami fiqih 2, ( PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013) hlm 62
[9] Manna Al-Qaththan, Pengantar Study ilmu Al-Qur’an, hlm 305-306
[10] Hanafie, Ushul fiqih,( Jakarta : Wijaya,1993), hlm 76
[11] Syafi’i Karim, Ushul fiqih hlm 175-176
[12] Juhana, ILMU USHUL FIQIH I ( Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) hlm 55.
[13] Rachmat Syafe’I, ILMU USHUL FIQIH (Bandung : Pustaka setia,1999) hlm 215
[14]  Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul ( lirboyo: Santri Salaf Press, 2014) hlm 96
[15]Rachmat Syafe’i, ILMU USHUL FIQIH, cet IV ( Bandung: CV Pustaka setia,2010) hlm 216
[16]Rachmat syafe’i, Maman Djaliel, ilmu ushul fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia 1999) hlm 134
[17]Zen Amiruddin, ushul fiqih, ( Surabaya : lembaga kajian agama dan filsafat 2006)
 

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

  Kelompok : 1 2 Nama               : DIAN ARSITA                           MOH.SAIFUL NIZAM                           LUTFIANA...