Nama Anggota Kelompok
2 :
1. Rizky Abbyu Santoso (NIM
: 17402163420)
2. Eni Catur Tri Bawaningtyas (NIM : 17402163436)
3. Yuli Rusmawati (NIM
: 17402163439)
4. Abdul Ghoza Abtadi (NIM
: 17402163446)
Kelas : II - J
Jurusan
: Ekonomi Syariah
Mata Kuliah
: Ushul Fiqh
Dosen
: Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum. M.Pd.
Latar
Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak
dapat lepas dari ketentuan hukum syara’, baik hukum syara’yang tercantum di
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagai umat islam mengetahui hukum syara'
merupakan kewajiban. Perlu kita ketahui, ushul fiqh meninjau hukum syara' dari
segi metodologi dan sumber-sumbernya. Hukum syara', yakni ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha
(tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab
akibat). Hukum Syara’ ini bersifat mengikat bagi hambanya, karena bersifat
mengikat maka kita harus memiliki dasar hukum syara’ yang jelas baik itu wajib,
mubah, mandub, maupun haram.[1]
Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba membahas
tentang hukum syara' yang berhubungan dengan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.
Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiiqh.
Adapun rumusan
masalahnya adalah: 1.)Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?. 2.) Apa saja
pembagian hukum syara’?.3.) Apa defines dan pembagian hukum taklifi?. 4.) Apa
definisi dan pembagian hukum wadh’i?.
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah:1.)Untuk mengetahui pengertian hukum syara’. 2.)
Untuk mengetahui pembagian hukum syara’. 3.) Untuk mengetahui definisi dan
pembagian hukum taklifi. 4.) Untuk mengetahui definisi dan pembagian hukum
wadh’i.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum
Syara’
Ahli ushul fiqh
dan ahli fiqh berbeda pandangan dalam mengartikan hukum syar’i. Pihak pertama,
mendefinisikan hukum syar’i sebagai khitab (titah) Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf
yang mengandung tuntunan, kebolehan, boleh pilih atau wadha’ (yaitu mengandung
ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum). Sedangkan pihak kedua,
mendefinisikan sebagai efek yang dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan
seperti wajib, haram, dan mubah. Melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada
ulama yang mengatakan bahwa hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para
fuqaha untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.[2]
Secara
etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut
terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti ”khitab” (kalam) Allah
yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir
(kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak
melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
atau mani’ (penghalang).[3]
Secara
epistimologi lafadz al-sy’ar’u dan al-syariatu mempunyai beberapa pandangan,
diantaranya: al-din (agama), al-thariq, al-minhaj, al-madzhab, al-sunnah
(yang semua bermakna jalan yang harus ditempuh atau dilalui). Di dalam lisan
al-‘Arab: “Al-Syir’atu dan Al-Syari’atu dalam perkataan bangsa Arab
adalah tempat mengalirnya air, bisa juga sumber mata air yang dilalui manusia,
maka manusia akan mengambil airnya dan meminumnya.Al-syariatu dan al-Syar’u
dengan demikian hukum syara’ adalah apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dari
agama dan diperintahkan untuk dikerjakan, seperti puasa, sholat, haji, zakat,
dan seluruh amal perbuatan baik.[4]
B. Pembagian
Hukum Syara’
1. Taklify
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan
Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukallaf, baik
dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak
berbuat.[5]
2. Wadl’i
Ul-hukm al-wadl’I
adalah khitab yang menerangkan bahwa sesuatu perkara berkaitan erat dengan
perkara yang lain, baik menjadi sebab terjadinya sesuatu atau menjadi syarat di
dalam perkara lain tersebut atau menjadi pencegah dari perkara yang lain. Jadi
dapat disimpulkan, bahwa hukum wadh’i
merupakan ketentuan syara’ dalam mensifati hukum tersebut sebagai sebab, atau
syarat, ataupun pencegah.[6]
C. Pembagian Hukum Taklify
Hukum taklify berbentuk sebuah
tuntutan atau pilihan, dengan demikian hukum taklifi ini dibagi dalam lima
macam :
1. Tuntutan untuk memperbuat secara pasti
dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang memperbuat patur mendapat
ganjaran dan tidak dapat sama sekali untuk ditinggalkan, sehingga orang yang
meninggalakan patut mendapat ancaman Allah SWT. Hukum taklifi dalam bentuk ini
disebut dengan ijab. Pengaruh terhadap perbuatan disebut dengan wujub,
sedangkan perbuatan yang dituntut disebut dengan wajib.[7]
Hukum
wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bila dilihat
dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua macam
yaitu :[8]
a. Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang
dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa
kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri.
Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
b. Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang
dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh
sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang
yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya
kewajiban sholat jenazah.
Bila
dilihat dari segi ukurannya, wajib ada dua macam :[9]
a. Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh
syar¡¯i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
b. Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban
yang oleh syar¡¯i tidak ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.
Bila dilihat dari segi
kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam :[10]
a. Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban
yang dituntut adanya oleh syara¡¯ dengan secara khusus (tidak ada pilihan
lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
b. Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban
yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.
Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar).
2. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak
pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Untuk yang
melaksanakan akan mendapatkan ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan
itu ditinggalkan tidak apa-apa. Oleh karenanya orang yang meninggalkan tidak
mendapat ancaman dosa. Tuntutan seperti ini disebut nadb dan pengaruhnya juga
disebut Nadb, sedangkan perbuatan yang di tuntut disebut mandub. Misalnya
memberi sumbangan kepada panti asuhan.[11]
3. Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa,
sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu
mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Perbuatan yang dilarang secara pasti
ini disebut dengan haram. Haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Sedangkan
secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya, di mana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan
diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah,
diberi pahala. Misalnya larangan berzina. Haram disebut juga muharram (sesuatu
yang diharamkan).[12]
4. Makruh, secara bahasa kata makruh berarti
sesuatu yang dibenci. Dalam istilah ushul fiqh kata makruh, berarti sesuatu
yang dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila
dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur dan memasukkan air ke hidung
secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa karena dikhawatirkan air
akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.[13]
5. Titah Allah yang memmberikan kemungkinan
untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya
tidak ada tuntutan, baik mengerjakan maupun meninggalkannya. Bila seseorang
mengerjakan ia tidak diberi ganjaran dan tidak pula diancam atas perbuatannya.
Bila seseorang meninggalkan maka ia tida juga diberi ganjaran maupun ancaman.
Hukum dalam bentuk ini disebut ibahah, pengaruhnya terhadap perbuatan disebut
juga ibahah, serta perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidk
disebut mubah.[14]
D.
Pembagian Hukum Wadh’i
1.
Sebab. Menurut istilah syara’ sebab adalah suatu
keadaan atau peristiwa yang dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak
adanya keadaan atau peristiwa itu menyebabkan tidak adanya hukum atau sesuatu
yang pasti yang menjadi asas terbentuknya sesuatu hukum. Sebagai contoh seperti sholat maghrib yang
dikaitkan dengan tenggelamnya matahari dan tenggelamnya matahari disebut sebaga
sebab hukum taklifi yaitu kewajiban mengerjakan shalat maghrib.[15]
2.
Syarat adalah sesuatu yang kepadanya
tergantung suatu hukum. Dalam arti lain syarat adalah sesuatu yang berada
diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung padanya. Misalnya
kedewasaan pada anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.[16]
3.
Mani' (Penghalang) yaitu apa yang tidak berpisah dari adanya hukum atau dapat
diartikan sebagai batal sebab menetapkan adanya sebab syar’i. Dalam istilah
ushul fiqh, mani’ adalah perintah disamping menetapkan sebab dan mencukupi
syarat-syaratnya. Umpamanya keadaan berhaidnya seseorang wanita menyebabkan tidak
berlakunya shalat dan puasa padahal itu wajib dilaksanakan.[17]
4. Shah yaitu akibat hukum dari suatu
perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’. Umpamanya
shalat zuhur telah dilakukan setelah tergelincir matahari setelah tergelincir
matahari setelah melakukan wudhu’ serta syarat lainnya dan dilakukan oleh
orang-orang yang tidak berhaid dan halangan lainnya.[18]
5. Rukhshah dan Azimah
Rukhshah yaitu apa yang
disyari’atkam Allah SWT dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada mukallaf
dalam hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan atau hal-hal yang
disyari’atkan bagi uzur yang sulit dalam hal-hal tertentu. Sedangkan Azimah
adalah apa yang disyari’atkan Allah berasal dari hukum-hukum yang umum yang
tidak dikhususkan dengan sesuatu selain dari sesuatu dan tidak pula mukallaf
selain dari mukallaf. Misalnya haramnya bangkai untuk umat islam dalam keadaan
apapun.[19]
6.
Bathal
yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi atau syarat atau
terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’. Umpamanya shalat maghrib
sebelum tergelincir matahari atau tidak memakai wudhu’ atau sudah ada keduanya
tetapi dilakukan oleh wanita yang sedang berhaid.[20]
KESIMPULAN
Hukum syara’ adalah
apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dari agama dan diperintahkan untuk dikerjakan,
seperti puasa, sholat, haji dan zakat. Hukum syara’ sendiri dibagi menjadi dua
yaitu hukum taklify dan wadh’i.
Adapun pengertian dari hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan Allah
dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukallaf, baik dalam
bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Hukum taklifi ini dikelompokkan menjadi lima macam yaitu wajib, sunnah, haram,
makruh dan mubah.
Sedangkan hukum wadh’i adalah khitab yang
menerangkan bahwa sesuatu perkara berkaitan erat dengan perkara yang lain, baik
menjadi sebab terjadinya sesuatu atau menjadi syarat di dalam perkara lain
tersebut atau menjadi pencegah dari perkara yang lain. Ada tujuh macam yang
termasuk dalam hukum wadh’ i diantaranya sebab, syarat, mani’, rukhshah, azimah
dan batal
REFERENSI :
Al Munawar, Said Agil Husin. 2004. Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep
Al-Nadb & Al-Karahah. Jakarta :
Ciputat Press.
Anshori,
Abdul Ghofur. 2008. Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta
: Kreasi Total Media.
Efendi, Satria. M. Zein. 2009. Ushul Fiqh,
Jakarta : Kencana.
Hazbiyallah. 2013. Fiqh
dan Ushul Fiqh. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1997. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah
Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Amani.
Koto , Aladdin. 2014. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Suwarjin.
2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta : Teras.
Syarifuddin,
Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid
1.
Jakarta
: Logos Wacana Ilmu.
Zahrah
, Muhammad Abu. 1994. Ushul
Fiqih. Jakarta :
PT Pustaka Firdaus.
[4] Said Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep Al-Nadb & Al-Karahah, (Jakarta: Ciputat Press, 2004) ,hlm.
12
[6] Said Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep Al-Nadb & Al-Karahah, (Jakarta: Ciputat Press, 2004)
,hlm.30-33.
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh
Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Amani 1977),hlm. 146-148.
[16]
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), hlm. 30
[17]Suwarjin,
Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 42-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar