Rabu, 07 Juni 2017

HUKUM SYARA'


Nama Anggota Kelompok 2 :
1.   Rizky Abbyu Santoso                    (NIM : 17402163420)
2.   Eni Catur Tri Bawaningtyas           (NIM : 17402163436)
3.   Yuli Rusmawati                              (NIM : 17402163439)
4.   Abdul Ghoza Abtadi                      (NIM : 17402163446)
Kelas                : II - J
Jurusan            : Ekonomi Syariah
Mata Kuliah    : Ushul Fiqh
Dosen              : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum. M.Pd.

PENDAHULUAN :
Latar Belakang
     Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syara’, baik hukum syara’yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagai umat islam mengetahui hukum syara' merupakan kewajiban. Perlu kita ketahui, ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya. Hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat). Hukum Syara’ ini bersifat mengikat bagi hambanya, karena bersifat mengikat maka kita harus memiliki dasar hukum syara’ yang jelas baik itu wajib, mubah, mandub, maupun haram.[1]
     Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiiqh.
Adapun rumusan masalahnya adalah: 1.)Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?. 2.) Apa saja pembagian hukum syara’?.3.) Apa defines dan pembagian hukum taklifi?. 4.) Apa definisi dan pembagian hukum wadh’i?.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:1.)Untuk mengetahui pengertian hukum syara’. 2.) Untuk mengetahui pembagian hukum syara’. 3.) Untuk mengetahui definisi dan pembagian hukum taklifi. 4.) Untuk mengetahui definisi dan pembagian hukum wadh’i.

PEMBAHASAN                                                                           
A.  Pengertian Hukum Syara’
Ahli ushul fiqh dan ahli fiqh berbeda pandangan dalam mengartikan hukum syar’i. Pihak pertama, mendefinisikan hukum syar’i sebagai khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntunan, kebolehan, boleh pilih atau wadha’ (yaitu mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum). Sedangkan pihak kedua, mendefinisikan sebagai efek yang dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib, haram, dan mubah. Melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang mengatakan bahwa hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.[2]
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti ”khitab” (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).[3]
Secara epistimologi lafadz al-sy’ar’u dan al-syariatu mempunyai beberapa pandangan, diantaranya: al-din (agama), al-thariq, al-minhaj, al-madzhab, al-sunnah (yang semua bermakna jalan yang harus ditempuh atau dilalui). Di dalam lisan al-‘Arab: “Al-Syir’atu dan Al-Syari’atu dalam perkataan bangsa Arab adalah tempat mengalirnya air, bisa juga sumber mata air yang dilalui manusia, maka manusia akan mengambil airnya dan meminumnya.Al-syariatu dan al-Syar’u dengan demikian hukum syara’ adalah apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dari agama dan diperintahkan untuk dikerjakan, seperti puasa, sholat, haji, zakat, dan seluruh amal perbuatan baik.[4]
B.  Pembagian Hukum Syara’
1.    Taklify
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.[5]
2.    Wadl’i
Ul-hukm al-wadl’I adalah khitab yang menerangkan bahwa sesuatu perkara berkaitan erat dengan perkara yang lain, baik menjadi sebab terjadinya sesuatu atau menjadi syarat di dalam perkara lain tersebut atau menjadi pencegah dari perkara yang lain. Jadi dapat disimpulkan, bahwa hukum wadh’i merupakan ketentuan syara’ dalam mensifati hukum tersebut sebagai sebab, atau syarat, ataupun pencegah.[6]
C.  Pembagian Hukum Taklify
Hukum taklify berbentuk sebuah tuntutan atau pilihan, dengan demikian hukum taklifi ini dibagi dalam lima macam :
1.    Tuntutan untuk memperbuat secara pasti dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang memperbuat patur mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali untuk ditinggalkan, sehingga orang yang meninggalakan patut mendapat ancaman Allah SWT. Hukum taklifi dalam bentuk ini disebut dengan ijab. Pengaruh terhadap perbuatan disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut disebut dengan wajib.[7]
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua macam yaitu :[8]
a.    Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
b.    Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat dari segi ukurannya, wajib ada dua macam :[9]
a.    Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar¡¯i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
b.    Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar¡¯i tidak ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam :[10]
a.       Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara¡¯ dengan secara khusus (tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
b.      Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar).
2.    Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Untuk yang melaksanakan akan mendapatkan ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa. Oleh karenanya orang yang meninggalkan tidak mendapat ancaman dosa. Tuntutan seperti ini disebut nadb dan pengaruhnya juga disebut Nadb, sedangkan perbuatan yang di tuntut disebut mandub. Misalnya memberi sumbangan kepada panti asuhan.[11]
3.    Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Perbuatan yang dilarang secara pasti ini disebut dengan haram. Haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).[12]
4.    Makruh, secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah ushul fiqh kata makruh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.[13]
5.    Titah Allah yang memmberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, baik mengerjakan maupun meninggalkannya. Bila seseorang mengerjakan ia tidak diberi ganjaran dan tidak pula diancam atas perbuatannya. Bila seseorang meninggalkan maka ia tida juga diberi ganjaran maupun ancaman. Hukum dalam bentuk ini disebut ibahah, pengaruhnya terhadap perbuatan disebut juga ibahah, serta perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidk disebut mubah.[14]
D.  Pembagian Hukum Wadh’i
1.    Sebab. Menurut istilah syara’ sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa itu menyebabkan tidak adanya hukum atau sesuatu yang pasti yang menjadi asas terbentuknya sesuatu hukum. Sebagai contoh seperti sholat maghrib yang dikaitkan dengan tenggelamnya matahari dan tenggelamnya matahari disebut sebaga sebab hukum taklifi yaitu kewajiban mengerjakan shalat maghrib.[15]
2.    Syarat adalah sesuatu yang kepadanya tergantung suatu hukum. Dalam arti lain syarat adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung padanya. Misalnya kedewasaan pada anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.[16]
3.   Mani' (Penghalang) yaitu apa yang tidak berpisah dari adanya hukum atau dapat diartikan sebagai batal sebab menetapkan adanya sebab syar’i. Dalam istilah ushul fiqh, mani’ adalah perintah disamping menetapkan sebab dan mencukupi syarat-syaratnya. Umpamanya keadaan berhaidnya seseorang wanita menyebabkan tidak berlakunya shalat dan puasa padahal itu wajib dilaksanakan.[17]
4.   Shah yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’. Umpamanya shalat zuhur telah dilakukan setelah tergelincir matahari setelah tergelincir matahari setelah melakukan wudhu’ serta syarat lainnya dan dilakukan oleh orang-orang yang tidak berhaid dan halangan lainnya.[18]
5.   Rukhshah dan Azimah
Rukhshah yaitu apa yang disyari’atkam Allah SWT dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada mukallaf dalam hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan atau hal-hal yang disyari’atkan bagi uzur yang sulit dalam hal-hal tertentu. Sedangkan Azimah adalah apa yang disyari’atkan Allah berasal dari hukum-hukum yang umum yang tidak dikhususkan dengan sesuatu selain dari sesuatu dan tidak pula mukallaf selain dari mukallaf. Misalnya haramnya bangkai untuk umat islam dalam keadaan apapun.[19]
6.   Bathal yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi atau syarat atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’. Umpamanya shalat maghrib sebelum tergelincir matahari atau tidak memakai wudhu’ atau sudah ada keduanya tetapi dilakukan oleh wanita yang sedang berhaid.[20]





KESIMPULAN
Hukum syara’ adalah apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dari agama dan diperintahkan untuk dikerjakan, seperti puasa, sholat, haji dan zakat. Hukum syara’ sendiri dibagi menjadi dua yaitu hukum taklify dan wadh’i.
Adapun pengertian dari hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat. Hukum taklifi ini dikelompokkan menjadi lima macam yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Sedangkan hukum wadh’i adalah khitab yang menerangkan bahwa sesuatu perkara berkaitan erat dengan perkara yang lain, baik menjadi sebab terjadinya sesuatu atau menjadi syarat di dalam perkara lain tersebut atau menjadi pencegah dari perkara yang lain. Ada tujuh macam yang termasuk dalam hukum wadh’ i diantaranya sebab, syarat, mani’, rukhshah, azimah dan batal

REFERENSI :
Al Munawar, Said Agil Husin. 2004. Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep Al-Nadb & Al-Karahah. Jakarta : Ciputat Press.
Anshori, Abdul Ghofur. 2008. Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta : Kreasi Total Media.
Efendi, Satria. M. Zein. 2009. Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana.
Hazbiyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1997. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Amani.
Koto , Aladdin. 2014.  Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta : Teras.
Syarifuddin, Amir. 1997.  Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Zahrah , Muhammad Abu. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta : PT Pustaka Firdaus.




[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994). hlm 26-27
[2] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014), hlm 35.
[3] Satria Efendi,M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009). hlm 36   
[4] Said Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep Al-Nadb & Al-Karahah, (Jakarta: Ciputat Press, 2004) ,hlm. 12
[5]Satria Efendi,M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2009). hlm: 40
[6] Said Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep Al-Nadb & Al-Karahah, (Jakarta: Ciputat Press, 2004) ,hlm.30-33.
[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu : 1997), hlm. 283
[8] Satria Efendi,M.zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009), hlm. 43-44.
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Amani 1977),hlm. 146-148.

[10] Satria Efendi,M.zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009),hlm. 44-46
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu : 1997), hlm. 284
[12] Satria Efendi,M.zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009),hlm. 53-54

[13] Satria Efendi,M.zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009),hlm. 58
[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu : 1997), hlm. 285
[15] Hazbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013).hlm: 38
[16] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), hlm. 30
[17]Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 42-43
[18] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 286
[19] Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 43-44
[20]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 288

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

  Kelompok : 1 2 Nama               : DIAN ARSITA                           MOH.SAIFUL NIZAM                           LUTFIANA...