Rabu, 07 Juni 2017

Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih


Nama Kelompok 3:
1.   Thoriq Fadli                                                (NIM : 17402163406)
2.   Ngestika Dyah Rachmawati                       (NIM : 17402163426)
3.   Rofianik Dwi Kurniawati                           (NIM : 17402163440)

Kelas                   : ES-2 J
Jurusan                : Ekonomi Syariah
Mata Kuliah         : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi’, S.Hum. M.Pd.

Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih

PENDAHULUAN
          Latar Belakang dari penulisan makalah ini adalah Allah SWT telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai sebaik-baiknya makhluk dengan memberikan akal yang mampu membedakan baik dan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semua sudah diatur oleh Allah. Dialah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, mubah)maupun yang terkait dengan hukum wad’I (seperti: syarat, sebab, halangan,sah, bat, al fazid, azimah dan rukhsoh). Untuk menyebut istilah hukum atau obyek hukum dalam ushul fiqh disebut mahkum fih, karena di dalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i
itu adalah mahkum fih, sedangkaan seorang yang khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing.
            Adapun rumusan masalahnya adalah 1.) Apa definisi hakim? 2.) Apa definisi dan syarat mahkum fih? 3.) Apa definisi mahkum ‘alaih?
          Sedangkan tujuannya adalah 1.) Untuk mengetahui definisi hakim 2.) Untuk mengetahui definisi dan syarat mahkum fih 3.) Untuk mengetahui definisi mahkum ‘alaih.
PEMBAHASAN
Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
a.Definisi Hakim
         Hakim secara bahasa mengandung beberapa arti yang pertama al hukm yang berarti al-hikmah (bijaksana) dari al-ilm (pengetahuan), lafadz al-hakim seperti al-‘alim yang berarti yang memiliki kebijaksanaan. Allah SWT adalah al-hakim yang berarti mempunyai hukum. Lafadz al-Hikmah adalah ibarat untuk mengetahui sebaik-baik perkara dengan sebaik-baik pengetahuan. Lafadz al-Hukm dan al-hakim dengan arti al-hakim adalah hakim (qadli), maka sesuai dengan format fail atau subyek yang menghubungi sesuatu dari undang-undang atau benar-benar memahaminya. Sedangkan hakama berarti menjadi hakiman (bijaksana).[1] Dalam ushul fiqh yang dimaksud Al-Hakim adalah Allah SWT.  Karena Allah lah yang berhak menghukumi segala perbuatan makhluk dan memutusi segala hal ikhwal hidup manusia besuk pada hari qiamat sebagai proses penghukuman yang sejati.[2]

Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian[3][1] :
وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
الَّذِيْ يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum”.
        Sebagai hakim, Allah SWT menyampaikan ketentuan hukumnya kepada manusia melewati Utusan (rasulnya), sehingga hukum atau ketentuan yang diterima manusia melalui rasul ini para ulama sepakat bahwa ketentuan itu dilakukannya atau menjadi pedoman hidupnya. Para ulama berbeda paham manakala ketentuan Allah SWT itu belum diterima oleh manusia, apakah manusia dianggap salah manakala melakukan perbuatan yang negatif menurut pandangan akalnya.[4]
        Para ulama’ahlu sunnah berpendirian karena tiada hakim selain Allah SWT. Dan Allah SWT adalah dzat yang membuat ketentuan hukum, maka sebelum ada ketentuannya manusia itu tidak menanggung beban apa-apa.[5] Namun, dipihak lain ulama’ Mu’tazilah berpandangan bahwa manusia itu selain dituntut oleh Allah SWT dengan ajarannya, mereka juga dibekali oleh Allah SWT akal fikiran, maka dengan akal fikirannya itu mereka diberi ketentuan hukum, baik atau buruk, sehingga mereka tetap diminta tanggungjawab berdasarkan kemampuan akalnya.
b. Definisi Mahkum Fih dan Syarat Mahkum Fih
          Mahkum Fih adalah perbuatan yang dihukumi. Dalam hal ini mahkum fih adalah perbuatan orang mukallaf. Untuk menyebut peristiwa atau hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena di dalam peristiwa itu adalah hukum baik hukum wajib maupun hukum yang haram.[6] Dalam kajian ushul fiqh yang dimaksud dengan mahkum fih adalah suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’. Perbuatan orang yang tidak mukallaf tidak dikenai hukum, misalnya perbuatan anak kecil, orang gila, orang yang tidak mengerti sama sekali peraturan syariat. [7]
        Apakah seseorang dikenai beban hukum atas perbuatannya tergantung apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat sebagai beban hukum. Sesuatu perbuatan bisa diperhitungkan sebagai obyek hukum manakala perbuatan itu jelas dapat diketahui oleh orang yang akan melakukannya, dapat dibedakan oleh orang yang akan melakukannya antara satu perbuatan dengan lainnya, perbuatan itu mungkin dapat dilakukan oleh orang mukallaf yang akan melakukannya.[8]
Perbuatan merupakan hal yang melekat pada manusia hingga bila suatu perbuatan telah memenuhi syarat objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif.
Ø  Ada beberapa persyaratan bagi sahnya suattu perbuatan hukum.
a. Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan demikian suatu perintah, misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah atau Rasul-Nya. Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan secara global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rasul-Nya.[9]
b. Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya.[10]
c. Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Hal itu dikarenakan tujuan dari suatu perintah atau larangan adalah untuk ditaati. oleh sebab itu, tidak mungkin ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebuah perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya, perintah untuk terbang tanpa menggunakan alat.[11]
c. Definisi Mahkum ‘Alaih dan Syarat Mahkum Alaih
          Mahkum ‘Alaih adalah orang yang dibebani hukum. Dalam hal ini orang yang dibebani hukum adalah orang mukallaf, yakni orang yang sudah akil baligh, sehat rohani, islam dan sudah sampai dakwah syariat kepadanya, orang yang memiliki kesadaran rohani. Dengan demikian, anak kecil, orang gila, orang kafir, orang tidur, orang pikun dan orang yang belum tahu syariat tidak terbebani hukum syara’.[12]
Bahkan Allah tidak membebani seseorang kalau ia tidak mampu mengerjakannya. Surat Al-Baqarah ayat 216.
Ø  Syarat- syarat mahkum alaih:
Ada dua persyaratan yang harus dipatuhi oleh seorang mukallaf sah ditaklifi.[13]
1.      Orang –orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mengetahui apa yang ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan memahami dalil-dalil taklif hanya dapat terwujud dengan akal,karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Dan oleh karena akal adalah hal yang tersembunyi dan sulit diukur,maka Allah menyangkutkan taklif itu ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan adanya akal yaitu balligh. Barangsiapa yang telah baligh dan tidak kelihatan cacat akalnya berarti ia telah cukup kemampuan ditaklifi.
Berdasarkan hal di atas anak-anak dan orang gila tidak dikenai taklif karena mereka tidak mempunyai alat untuk memahami taklif tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, mabuk, karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang diaklifkan kepada mereka.
2.      Orang tersebut “ahli” (cakap) bagi apa yang ditaklifkan kepadanya. “Ahli” disini berarti layak untukkepantasan yang terdapat pada diri seseorang. Misalnya seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf berarti ia pantas untuk diserahi tanggungjawab mengurus harta wakaf.[14]


REFERENSI
Al Munawar, Said Agil Husin. 2004. Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep Al-Nadb & Al-Karahah.  Jakarta: Ciputat Press.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta : Teras.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media.
Firdaus.2004.Ushul Fiqh. Jakarta Timur :Zikrul Hakim.
Jawapos, Senin, 27 Februaari 2017.
Jumantoro,Totok,dkk.,2005.Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t.
Mahkum fih, mahkum alaih, cahaya kehidupan, Jurnal.
Koto, Alaiddin. 2014. ILMU FIQH DAN USHUL FIQH. Jakarta: PT.Grafindoo Persada.
Sutrisno.1999. Ushul Fiqh, Jember: STAIN Press.
Syarifuddin,Amir.1997. Ushul Fiqh Jilid I.Jakarta:Logos Wacana Ilmu.
Syafe’i,Rahmat.2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur. 1990. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Surabaya: PT: Bina Ilmu.
Yasin. 2010.Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh. Yogyakarta :Idea Press.




[1] Said Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep Al-Nadb & Al-Karahah, (Jakarta: Ciputat Press, 2004), hlm. 9.
[2] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm. 40.

[3]Totok Jumantoro,dkk.,Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.347.
[5] Yasin, Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh, (Yogyakarta :Idea press, 2010), hlm.53.
[6] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 317.
[7] Syukur, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Surabaya: PT: Bina Ilmu, 1990), hlm.132.
[8] Sutrisno, Ushul Fiqh, (Jember: STAIN Press, 1999), hlm.120.
[9] Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta Timur :Zikrul Hakim, 2004), hlm. 275.
[10] Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta :Prenada Media, 2005), hlm. 74.
[11] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm 75.

[12] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta :Teras, 2009), hlm.41.
[13] Alaiddin Koto, ILMU FQIH DAN USHUL FIQH, (Jakarta:PT. Grafindo Persada), hlm. 145.
[14] Alaiddin Koto, ILMU FIQH DAN USHUL FIQH, (Jakarta: PT.Grafindoo Persada, 2014), hlm. 146.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

  Kelompok : 1 2 Nama               : DIAN ARSITA                           MOH.SAIFUL NIZAM                           LUTFIANA...