Nama Kelompok 3:
1.
Thoriq Fadli (NIM
: 17402163406)
2.
Ngestika
Dyah Rachmawati (NIM : 17402163426)
3.
Rofianik Dwi Kurniawati (NIM
: 17402163440)
Kelas : ES-2 J
Jurusan : Ekonomi Syariah
Mata
Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen
Pengampu : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi’, S.Hum. M.Pd.
Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
PENDAHULUAN
Latar Belakang dari penulisan makalah
ini adalah Allah SWT telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai
sebaik-baiknya makhluk dengan memberikan akal yang mampu membedakan baik dan
buruk. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri,
semua sudah diatur oleh Allah. Dialah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada
seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti: wajib,
sunnah, haram, makruh, mubah)maupun yang terkait dengan hukum wad’I (seperti:
syarat, sebab, halangan,sah, bat, al fazid, azimah dan rukhsoh).
Untuk menyebut istilah hukum atau obyek hukum dalam ushul fiqh disebut mahkum
fih, karena di dalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum
haram atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan
perintah syar’i
itu
adalah mahkum fih, sedangkaan seorang yang khitob itulah yang disebut mahkum
alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing.
Adapun rumusan masalahnya adalah
1.) Apa definisi hakim? 2.) Apa definisi dan syarat mahkum fih? 3.) Apa
definisi mahkum ‘alaih?
Sedangkan tujuannya adalah 1.) Untuk
mengetahui definisi hakim 2.) Untuk mengetahui definisi dan syarat mahkum fih
3.) Untuk mengetahui definisi mahkum ‘alaih.
PEMBAHASAN
Hakim,
Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih
a.Definisi
Hakim
Hakim secara bahasa mengandung
beberapa arti yang pertama al hukm yang berarti al-hikmah (bijaksana)
dari al-ilm (pengetahuan), lafadz al-hakim seperti al-‘alim yang berarti
yang memiliki kebijaksanaan. Allah SWT adalah al-hakim yang berarti mempunyai
hukum. Lafadz al-Hikmah adalah ibarat untuk mengetahui sebaik-baik perkara
dengan sebaik-baik pengetahuan. Lafadz al-Hukm dan al-hakim dengan arti
al-hakim adalah hakim (qadli), maka sesuai dengan format fail atau subyek yang
menghubungi sesuatu dari undang-undang atau benar-benar memahaminya. Sedangkan
hakama berarti menjadi hakiman (bijaksana).[1]
Dalam ushul fiqh yang dimaksud Al-Hakim adalah Allah SWT. Karena Allah lah yang berhak menghukumi
segala perbuatan makhluk dan memutusi segala hal ikhwal hidup manusia besuk
pada hari qiamat sebagai proses penghukuman yang sejati.[2]
وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا
وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا
“Pembuat, yang menetapkan, yang
memunculkan dan sumber hukum”.
الَّذِيْ
يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan hukum”.
Sebagai hakim, Allah SWT menyampaikan
ketentuan hukumnya kepada manusia melewati Utusan (rasulnya), sehingga hukum
atau ketentuan yang diterima manusia melalui rasul ini para ulama sepakat bahwa
ketentuan itu dilakukannya atau menjadi pedoman hidupnya. Para ulama berbeda
paham manakala ketentuan Allah SWT itu belum diterima oleh manusia, apakah
manusia dianggap salah manakala melakukan perbuatan yang negatif menurut
pandangan akalnya.[4]
Para
ulama’ahlu sunnah berpendirian karena tiada hakim selain Allah SWT. Dan Allah
SWT adalah dzat yang membuat ketentuan hukum, maka sebelum ada ketentuannya
manusia itu tidak menanggung beban apa-apa.[5]
Namun, dipihak lain ulama’ Mu’tazilah berpandangan bahwa manusia itu selain
dituntut oleh Allah SWT dengan ajarannya, mereka juga dibekali oleh Allah SWT
akal fikiran, maka dengan akal fikirannya itu mereka diberi ketentuan hukum,
baik atau buruk, sehingga mereka tetap diminta tanggungjawab berdasarkan kemampuan
akalnya.
b.
Definisi Mahkum Fih dan Syarat Mahkum Fih
Mahkum Fih adalah perbuatan yang dihukumi.
Dalam hal ini mahkum fih adalah perbuatan orang mukallaf. Untuk menyebut
peristiwa atau hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah
mahkum fih, karena di dalam peristiwa itu adalah hukum baik hukum wajib maupun
hukum yang haram.[6] Dalam
kajian ushul fiqh yang dimaksud dengan mahkum fih adalah suatu perbuatan
mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’. Perbuatan orang
yang tidak mukallaf tidak dikenai hukum, misalnya perbuatan anak kecil, orang
gila, orang yang tidak mengerti sama sekali peraturan syariat. [7]
Apakah
seseorang dikenai beban hukum atas perbuatannya tergantung apakah perbuatannya
itu telah memenuhi syarat sebagai beban hukum. Sesuatu perbuatan bisa
diperhitungkan sebagai obyek hukum manakala perbuatan itu jelas dapat diketahui
oleh orang yang akan melakukannya, dapat dibedakan oleh orang yang akan
melakukannya antara satu perbuatan dengan lainnya, perbuatan itu mungkin dapat
dilakukan oleh orang mukallaf yang akan melakukannya.[8]
Perbuatan
merupakan hal yang melekat pada manusia hingga bila suatu perbuatan telah
memenuhi syarat objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan
itu beban hukum atau taklif.
Ø
Ada beberapa
persyaratan bagi sahnya suattu perbuatan hukum.
a. Perbuatan itu diketahui secara
sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan demikian suatu perintah,
misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah
atau Rasul-Nya. Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan Abd al-Wahhab
Khallaf, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan secara global, baru wajib
dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rasul-Nya.[9]
b. Diketahui secara pasti oleh orang
mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah
yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya.[10]
c. Perbuatan yang diperintahkan atau
dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk
melakukan atau meninggalkannya. Hal itu dikarenakan tujuan dari suatu perintah
atau larangan adalah untuk ditaati. oleh sebab itu, tidak mungkin ada dalam
Al-Qur’an dan Sunnah sebuah perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan
oleh manusia. Misalnya, perintah untuk terbang tanpa menggunakan alat.[11]
c.
Definisi Mahkum ‘Alaih dan Syarat Mahkum Alaih
Mahkum ‘Alaih adalah orang yang dibebani
hukum. Dalam hal ini orang yang dibebani hukum adalah orang mukallaf, yakni
orang yang sudah akil baligh, sehat rohani, islam dan sudah sampai dakwah
syariat kepadanya, orang yang memiliki kesadaran rohani. Dengan demikian, anak
kecil, orang gila, orang kafir, orang tidur, orang pikun dan orang yang belum
tahu syariat tidak terbebani hukum syara’.[12]
Bahkan
Allah tidak membebani seseorang kalau ia tidak mampu mengerjakannya. Surat
Al-Baqarah ayat 216.
Ø Syarat- syarat mahkum alaih:
Ada dua persyaratan yang
harus dipatuhi oleh seorang mukallaf sah ditaklifi.[13]
1. Orang –orang tersebut mampu memahami
dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain.
Karena orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mengetahui
apa yang ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan memahami
dalil-dalil taklif hanya dapat terwujud dengan akal,karena akal adalah alat
untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Dan oleh karena akal adalah hal yang
tersembunyi dan sulit diukur,maka Allah menyangkutkan taklif itu ke hal-hal
yang menjadi tempat anggapan adanya akal yaitu balligh. Barangsiapa yang telah
baligh dan tidak kelihatan cacat akalnya berarti ia telah cukup kemampuan
ditaklifi.
Berdasarkan hal di atas
anak-anak dan orang gila tidak dikenai taklif karena mereka tidak mempunyai
alat untuk memahami taklif tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur,
mabuk, karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang
diaklifkan kepada mereka.
2. Orang tersebut “ahli” (cakap) bagi apa
yang ditaklifkan kepadanya. “Ahli” disini berarti layak untukkepantasan yang
terdapat pada diri seseorang. Misalnya seseorang dikatakan ahli untuk mengurus
wakaf berarti ia pantas untuk diserahi tanggungjawab mengurus harta wakaf.[14]
REFERENSI
Al
Munawar, Said Agil Husin. 2004. Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah
Konsep Al-Nadb & Al-Karahah.
Jakarta: Ciputat Press.
Amiruddin,
Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta : Teras.
Effendi,
Satria. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media.
Firdaus.2004.Ushul
Fiqh. Jakarta Timur :Zikrul Hakim.
Jawapos,
Senin, 27 Februaari 2017.
Jumantoro,Totok,dkk.,2005.Kamus
Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t.
Mahkum
fih, mahkum alaih, cahaya kehidupan, Jurnal.
Koto,
Alaiddin. 2014. ILMU FIQH DAN USHUL FIQH. Jakarta: PT.Grafindoo Persada.
Sutrisno.1999. Ushul Fiqh,
Jember: STAIN Press.
Syarifuddin,Amir.1997.
Ushul Fiqh Jilid I.Jakarta:Logos Wacana Ilmu.
Syafe’i,Rahmat.2007.
Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur.
1990. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Surabaya: PT: Bina Ilmu.
Yasin.
2010.Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh. Yogyakarta :Idea Press.
[1] Said
Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh Telaah Konsep Al-Nadb
& Al-Karahah, (Jakarta: Ciputat Press, 2004), hlm. 9.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid I, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.347.
[5] Yasin, Kaidah-Kaidah
Ushul Fiqh, (Yogyakarta :Idea press, 2010), hlm.53.
[7] Syukur, Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Surabaya: PT: Bina Ilmu, 1990), hlm.132.
[12] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh,
(Yogyakarta :Teras, 2009), hlm.41.
[13] Alaiddin Koto, ILMU
FQIH DAN USHUL FIQH, (Jakarta:PT. Grafindo Persada), hlm. 145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar