Nama :
Lailiyatun Na’imah
:
Irfan Krisdiantoro
:
Ahmad Khoirul Sami
Kelas :
2 J
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Jurusan : Ekonomi Syari’ah
Dosen :
Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum. M.Pd
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu:
Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum
yang ketiga yang berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas
ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun
demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.
Adapun rumusan masalahnya adalah : 1. Apa yang
dimaksud dengan pengertian dan dasar hukum ijtihad?. 2. Bagaimana kedudukan dan
fungsi ijtihad?. 3. Apa saja syarat-syarat ijtihad?. 4. Apa saja macam-macam
dan tingkatan mujathid?.
Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah : 1. Untuk mengetahui
pengertian dan dasar hukum ijtihad. 2. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi
ijtihad. 3. Untuk mengetahui syarat-syarat ijtihad. 4. Untuk mengetahui
macam-macam dan tingkatan mujtahid.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM IJTIHAD
Pengertian
ijtihad
Kata ijtihad secara
etimologi berakar dari kata al-juhdu yang artinya bersungguh-sungguh dan bentuk
masdar dari jahada-yajhadu yang berarti al-thaqah (daya, kemapuan atau
kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti
al-mashaqah (kesulitan atau kesukaran).[1]
Ijtihad secara
terminologi terdapat beberapa pengertian, diantaranya:[2]
1. Menurut Al-Amidi (w. 631 H), ijtihad
adalah mencurahkan kemampuan secara optimal untuk menggali hukum-hukum shara’
yang bersifat zanni.
2. Menurut Abu Zakariya Al-Ansari (w. 925 H),
ijtihad adalah upaya maksimal seorang faqih dalam memperoleh
ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat zanni.
3. Menurut Ibn Hajib (w. 1236 M), ijtihad
adalaah pengarahan segala kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan
hukum-hukum syara’yang bersifat zanni.
4. Menurut Ibn Himam (w. 861 H), ijtihad
adalah pencurahan segenap kemampuan yang ada pada seorang faqih (mujtahid)
untuk menghasilakan hukum syara’ yang
zanni.
5. Menurut Abu Zahra (w. 1974 M), ijtihad adalah
upaya mencurahkaan daya kemampuan yang dilakukan oleh seorang faqih dalam
menggali hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah dan dalil-dalil secara terperinci.[3]
Jadi, ijtihad adalah
mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’)
melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa
dalil syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut
merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata.[4]
Dasar
hukum ijtihad :
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan
melakukan ijtihad. Antara lain:[5]
1. Q.S An-nisa ayat 59
Perintah mengembalikan sesuatu yang
diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah
peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali
kepada Allah dan Rasul-nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat
atau hadist yang barangkali tidak mudah untuk di jangkau begitu saja, atau
berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan
hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena persamaan
‘illlat-nya seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti
kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang
dimaksdud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-nya seperti yang
dimaksud dalam ayat itu.[6]
2. Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin
Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan
apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-qur’an,
kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang
telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh
Allah dan Rasul-nya. Hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut.[7]
B.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI IJTIHAD
Kedudukan
ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi
lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam
Al-Qur’an maupun Hadist. Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang telah tegas
dalilnya. Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan, yaitu:[8]
Golongan 1: Berpendapat bahwa
tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah tersebut
Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.[9]
Golongan 2: Berpendapat bahwa yang
benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauanya dengan hukum
Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah.[10]
Fungsi
ijtihad
Imam Syafi’i ra. (150
H-204 H), penyusun pertama ushul fiqih, dalam bukunya Ar-risalah, ketika
menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu
peristiwa pun pada seseorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk
tentang hukumnya”. Menurutnya hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang
bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiataan ijtihad.
Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad
dlam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama hanya
seperti Allah menguji ketaatan hamba-nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainya.[11]
Pernyataan Imam Syafi’i
di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping Al-qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis
yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai
upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya seehingga
tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat Al-Qur’an dan Sunnah seperti
qiyas, ihtisan, dan maslahah mursalaah.
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam
Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat –ayat dan
hadis-hadis hukum yang terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai
permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.[12]
C.
SYARAT-SYARAT IJTIHAD
1.
Mengetahui
bahasa Arab dan ilmu yang berhubungan dengannya.
2.
Mengetahui
Al-Qur’an dan segala ilmu yang berhubungan dengannya.
3.
Mengetahui
as-sunnah dan segala ilmu yang berhubungan dengannya.
4.
Mengetahui
ilmu usul al-fiqh
5.
Mengetahui
posisi ijma dan seluk beluknya.
6.
Mengetahui
maqasid al-shari’ah.
7.
Kesiapan
naluriah untuk berijtihad.[13]
D.
MACAM-MACAM DAN TINGKATAN MUJTAHID
Macam-macam
ijtihad :
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya
di bagi menjadi dua :
1. Ijtihad fardi adalah ijtihad yang
dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, ijtihad
yang dilakukan oleh para mujtahid besar: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Ahmad Bin Hambal.
2. Ijtihad jama’i adalah kesepakatn para mujtahid
dari umat Nabi Muhammad setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu.[14]
Tingkatan
mujtahid :
1. Mujtahid mutlak muntasib, yaitu tingkatan
mujtahid mutlak yang berafiliasi kepada imamnya, mengikuti imam dalam masalah
usul (metodologi), kemudian dia mencoba untuk menguraikan sendiri secara
terperinci pengambilan dalil-dalil dari suatu masalah.
2. Mujtahid fi al-mazhab. Perkara yang wajib
dalam tingkatan mujtahid fi al-mazhab adalah menghasilkan sunah-sunah dan athar
yang tidak bertentangan dengan hadist
sahih atau kesepakatan para ulama salaf,
dan dalil-dalil fiqih.
3. Al-mutabahir fi al-mazhab, yaitu orang
yang menguasai pendapat-pendapat mazhabnya, tetapi dia juga mencoba untuk
mempertanyakan fatwa dari imam dari mazhab tersebut.
4. Muqallid, mereka-mereka yang meminta fatwa
kepada imam mazhab dan mengikuti fatwanya.[15]
KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta
syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam
untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad
dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan
manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai
solusi terhadap problematika tersebut.
REFERENSI
Effendi, Satria. M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Kencana
Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta
: PT Bulan Bintang
Mahfudz, Asmawi. 2010. Pembaruan Hukum Islam. Depok : Penerbit
Teras
Www.artikelsiana.com
[1] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan
Hukum Islam (Depok : Penerbit Teras, 2010), Cet. I, Hlm. 81
[2] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan
Hukum Islam (Depok : Penerbit Teras,
2010), Cet. I, Hlm. 82
[3] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan
Hukum Islam (Depok : Penerbit Teras,
2010), Cet. I, Hlm. 83
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam (Jakarta : PT Bulan
Bintang, 1991), Cet. VI, Hlm. 162
[5] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana,
2005), Cet I, Hlm. 248
[6] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih (Jakarta :
Kencana, 2005), Cet I, Hlm. 248
[7] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana,
2005), Cet I, Hlm. 249
[9] www.artikelsiana.com diakses
pada 20 maret 2017 :13.00
[10] www.artikelsiana.com diakses
pada 20 maret 2017 :13.00
[11] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana, 2005), Cet I, Hlm.249
[12] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih (Jakarta :
Kencana, 2005), Cet I, Hlm. 250
[13] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan
Hukum Islam (Depok : Penerbit Teras,
2010), Cet. I, Hlm. 88-92
[14] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana, 2005), Cet I, Hlm. 258-259
[15] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan
Hukum Islam, (Depok : Penerbit Teras, 2010), Cet. I, Hlm. 98-99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar