Senin, 19 Juni 2017

HUKUM IJTIHAD



Nama                           : Lailiyatun Na’imah
                                    : Irfan Krisdiantoro
                                    : Ahmad Khoirul Sami
Kelas                           : 2 J
Mata Kuliah                : Ushul Fiqih
Jurusan                        : Ekonomi Syari’ah
Dosen                          : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum. M.Pd
PENDAHULUAN
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga yang berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.
Adapun rumusan masalahnya adalah : 1. Apa yang dimaksud dengan pengertian dan dasar hukum ijtihad?. 2. Bagaimana kedudukan dan fungsi ijtihad?. 3. Apa saja syarat-syarat ijtihad?. 4. Apa saja macam-macam dan tingkatan mujathid?.
Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum ijtihad. 2. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijtihad. 3. Untuk mengetahui syarat-syarat ijtihad. 4. Untuk mengetahui macam-macam dan tingkatan mujtahid.
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM IJTIHAD
Pengertian ijtihad
Kata ijtihad secara etimologi berakar dari kata al-juhdu yang artinya bersungguh-sungguh dan bentuk masdar dari jahada-yajhadu yang berarti al-thaqah (daya, kemapuan atau kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti  al-mashaqah (kesulitan atau kesukaran).[1]
Ijtihad secara terminologi terdapat beberapa pengertian, diantaranya:[2]
1.    Menurut Al-Amidi (w. 631 H), ijtihad adalah mencurahkan kemampuan secara optimal untuk menggali hukum-hukum shara’ yang bersifat zanni.
2.    Menurut Abu Zakariya Al-Ansari (w. 925 H), ijtihad adalah upaya maksimal seorang faqih dalam memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat zanni.
3.    Menurut Ibn Hajib (w. 1236 M), ijtihad adalaah pengarahan segala kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan hukum-hukum syara’yang bersifat zanni.
4.    Menurut Ibn Himam (w. 861 H), ijtihad adalah pencurahan segenap kemampuan yang ada pada seorang faqih (mujtahid) untuk menghasilakan hukum syara’ yang  zanni.
5.    Menurut Abu Zahra (w. 1974 M), ijtihad adalah upaya mencurahkaan daya kemampuan yang dilakukan oleh seorang faqih dalam menggali hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah dan dalil-dalil  secara terperinci.[3]
Jadi, ijtihad adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata.[4]
Dasar hukum ijtihad :
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain:[5]
1.    Q.S An-nisa ayat 59
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah untuk di jangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena persamaan ‘illlat-nya seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksdud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-nya seperti yang dimaksud dalam ayat itu.[6]
2.    Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-qur’an, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-nya. Hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut.[7]




B.       KEDUDUKAN DAN FUNGSI IJTIHAD
Kedudukan ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya. Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan, yaitu:[8]
Golongan 1: Berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.[9]
Golongan 2: Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauanya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah.[10]
Fungsi ijtihad
Imam Syafi’i ra. (150 H-204 H), penyusun pertama ushul fiqih, dalam bukunya Ar-risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seseorang pemeluk agama Allah,  kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiataan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad dlam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama hanya seperti Allah menguji ketaatan hamba-nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainya.[11]
Pernyataan Imam Syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya seehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat Al-Qur’an dan Sunnah seperti qiyas, ihtisan, dan maslahah  mursalaah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat –ayat dan hadis-hadis hukum yang terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.[12]
C.      SYARAT-SYARAT IJTIHAD
1.             Mengetahui bahasa Arab dan ilmu yang berhubungan dengannya.
2.             Mengetahui Al-Qur’an dan segala ilmu yang berhubungan dengannya.
3.             Mengetahui as-sunnah dan segala ilmu yang berhubungan dengannya.
4.             Mengetahui ilmu usul al-fiqh
5.             Mengetahui posisi ijma dan seluk beluknya.
6.             Mengetahui maqasid al-shari’ah.
7.             Kesiapan naluriah untuk berijtihad.[13]
D.      MACAM-MACAM DAN TINGKATAN MUJTAHID
Macam-macam ijtihad :
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya di bagi menjadi dua :
1.    Ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid besar: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ahmad Bin Hambal.
2.    Ijtihad jama’i adalah kesepakatn para mujtahid dari umat Nabi Muhammad setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu.[14]
Tingkatan mujtahid :
1.    Mujtahid mutlak muntasib, yaitu tingkatan mujtahid mutlak yang berafiliasi kepada imamnya, mengikuti imam dalam masalah usul (metodologi), kemudian dia mencoba untuk menguraikan sendiri secara terperinci pengambilan dalil-dalil dari suatu masalah.
2.    Mujtahid fi al-mazhab. Perkara yang wajib dalam tingkatan mujtahid fi al-mazhab adalah menghasilkan sunah-sunah dan athar yang tidak  bertentangan dengan hadist sahih atau kesepakatan para  ulama salaf, dan dalil-dalil fiqih.
3.    Al-mutabahir fi al-mazhab, yaitu orang yang menguasai pendapat-pendapat mazhabnya, tetapi dia juga mencoba untuk mempertanyakan fatwa dari imam dari mazhab tersebut.
4.    Muqallid, mereka-mereka yang meminta fatwa kepada imam mazhab dan mengikuti fatwanya.[15]
KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
REFERENSI
Effendi, Satria. M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Kencana
Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang
Mahfudz, Asmawi. 2010. Pembaruan Hukum Islam. Depok : Penerbit Teras
Www.artikelsiana.com



[1] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan Hukum Islam (Depok : Penerbit Teras, 2010), Cet. I, Hlm. 81
[2] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan Hukum Islam  (Depok : Penerbit Teras, 2010), Cet. I, Hlm. 82
[3] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan Hukum Islam  (Depok : Penerbit Teras, 2010), Cet. I, Hlm. 83
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam  (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1991), Cet. VI, Hlm. 162
[5] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih  (Jakarta : Kencana, 2005), Cet I, Hlm. 248
[6] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih  (Jakarta : Kencana, 2005), Cet I, Hlm. 248
[7] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih  (Jakarta : Kencana, 2005), Cet I, Hlm. 249
[8] www.artikelsiana.com diakses pada 20 maret 2017 :13.00
[9] www.artikelsiana.com diakses pada 20 maret 2017 :13.00      
[10] www.artikelsiana.com diakses pada 20 maret 2017 :13.00    
[11] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana, 2005), Cet I, Hlm.249
[12] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih  (Jakarta : Kencana, 2005), Cet I, Hlm. 250
[13] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan Hukum Islam  (Depok : Penerbit Teras, 2010), Cet. I, Hlm. 88-92
[14] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana, 2005), Cet I, Hlm. 258-259
[15] Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag, Pembaruan Hukum Islam, (Depok : Penerbit Teras, 2010), Cet. I, Hlm. 98-99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

  Kelompok : 1 2 Nama               : DIAN ARSITA                           MOH.SAIFUL NIZAM                           LUTFIANA...