Kelompok : 11
Nama Anggota : 1. Meriska Ayu Gintia (17402163415)
2. Tri Nurlaili Hidayah (17402163441)
3. Nandana Estungkoro Santoso (17402163418)
Kelas : 2J
Jurusan : Ekonomi Syariah
Dosen Pengampu : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi’, S.Hum.
M.Pd.
Judul : ‘Aam dan Khas
PENDAHULUAN
Latar Belakang dari penulisan makalah ini adalah bahwa
dalam setiap kata yang digunakan dalam teks hukum mengandung suatu pengertian
yang mudah dipahami oleh yang menggunakannya. Ada pula lafadz yang mengandung
beberapa pengertian yang merupakan bagian-bagian dari lafadz itu. Apabila hukum
berlaku untuk lafadz itu, maka hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian
yang terkandung di dalamnya. Ada juga suatu lafadz yang mengandung suatu
pengertian tertentu, sehingga hukum itu hanya berlaku untuk itu saja. Lafadz
yang mengandung beberapa pengertian itu secara sederhana disebut ‘Amm (umum),
sedangkan yang hanya mengandung satu pengertian tertentu disebut khas (khusus).
Adapun rumusan masalahnya adalah: (1) Apa pengertian
dari ‘Aam? (2) Apa saja bentuk-bentuk lafadz ‘Aam? (3) Apa saja pembagian
lafadz ‘Aam? (4) Apa pengertian dari Khas? (5) Apa saja bentuk-bentuk lafadz
Khas?
Sedangkan tujuannya adalah: (1) Mengetahui pengertian
dari ‘Aam (2) Mengetahui bentuk-bentuk lafadz ‘Aam (3) Mengetahui pembagian
lafadz ‘Aam (4) Mengetahui pengertian dari Khas (5) Mengetahui bentuk-bentuk
lafadz Khas
PEMBAHASAN
1.
‘Aam
Amm ialah suatu lafadz yang dipergunakan untuk
menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan
mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka
lafadz ini meliputi semua laki-laki.[1]
Setiap lafadz (kata) mengandung dua lingkup
pembahasan, yaitu (1) lafadz itu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf, dan
(2) makna atau arti yang terkandung dalam lafadz itu.[2]
Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘am itu pada hakikatnya berada dalam lingkup
lafadz, karena ia menunjukkan pengertian-pengertian yang terkandung didalamnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa lafadz ‘am dapat
juga digunakan untuk makna, namun penggunaan untuk makna itu hanya secara
majazi, bukan dalam penggunaan yang sebenarnya, sebab kalau ia hakikatnya untuk
makna, tentu akan berlaku untuk setiap makna.
Qadhi Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak ada
yang dapat dikaitkan kepada ‘am kecuali lafadz. As-sharkisi (dalam kalangan
ulama hanafi) berpendapat bahwa ‘am tidak dapat digunakan pada makna kecuali
bila penggunaannya hanya untuk secara majazi, karenanya perlu penjelasan untuk
itu. Segolongan ulama Irak berpendapat bahwa ‘am itu dapat digunakan untuk
perbuatan dan hukum, dalam arti menanggungkan ucapan pada umum khitab meskipun
ada sasarannya. Dapat dimengerti keumuman itu menjadi sifat yang pengertiannya
mencakup segala yang dapat dimasukkan ke dalam konotasi lafaldz.[3]
2.
Bentuk-bentuk Lafadz ‘Aam
Lafadz
‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, diantaranya:
a. Lafadz كل (setiap)
dan جامع (seluruhnya).
Misalnya
firman Allah:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali
‘Imran, 185)
Dan sabda Rasulullah SAW:
كُلُّ
رَاعٍ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban
terhadap yang dipimpinnya”
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah
Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan
(jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
Lafadz كل dan حامع
tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas
jumlahnya.[4]
b.
Kata jamak yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para
ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan
penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata
al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama
atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan
dengan alif-lam.
Contoh:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 275).
Lafadz
al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan
alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua
satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.[5]
d. Lafadz Asma’ al-Mawshul. Seperti ma, al-ladhina,
al-lazi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e. Lafadz Asma’ al-Syart (isim-isim isyarat,
kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ
إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
“dan
barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f. Isim nakiroh dalam susunan kalimat nafi
(negatif), seperti kata لَا جُنَاحَ
dalam ayat berikut:
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“dan
tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).[6]
3.
Pembagian
Lafadz ‘Aam
1.
Umum Syumuliy, yaitu semua lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi, seperti:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri”. (Terjemahanal-Qur’an SuratAnnisa’ ayat 1).
Dalam ayat ini seluruh manusia di tuntut untuk
bertaqwa (memelihara diri dari ‘azhab Allah) tanpa kecuali.
2. Umum Badaliy, yaitu suatu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku
untuk sebagian pribadi, seperti:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”. (Terjemahan al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183).
Dalam ayat ini terdapat kalimat umum tetapi umum di
sini tidak dipergunakan untuk seluruh manusia, melainkan hanya orang-orang yang
percaya kepada Allah (beriman) saja.[7]
1.
Khas
Lafadz yang menunjukkan kepada sesuatu satuan tertentu artinya lafadz itu
hanya diperuntukkan bagi yang tertentu apakah sesorang tertentu seperti Ali,
Mahmud atau suatu macam/jenis seperti rajulun (seorang laki-laki), imraatun
(seorang wanita) atau bilangan tertentu seperti lima, seratus, seribu dan
sebagainya. Lafadz-lafadz khash itu adakalanya diperuntukkan bagi benda konkrit
(nyata) seperti Ali, Muhammad, rajulun dan sebagainya atau abstrak seperti
ilmu, kebodohan, pikiran dan sebagainya.
Lafadz khas itu bisa pula terdiri dari afrad/satuan-satuan yang lain
seperti rajulun yang dalam kenyataan ada beberapa orang laki-laki yang lain
atau hanya satu satuan saja seperti matahari dan bulan. Adakalannya pula
terdiri dari nama-nama bilangan seperti:
اَلزَّانِيَةُوَالزّانِيْفَاجْلِدُوْكُلَّوَاحِدٍمِّنْهُمَامِائَةَجَلْدَةٍ
Artinya: Wanita penzina dan laki-laki penzina maka deralah masing-masing
mereka 100 kali. (Q.S. 24:2).[8]
Lafadz 100 kali adalah khas menunjukkan 100 kali dera tidak boleh lebih
atau kurang.
Khushus adalah keadaan lafadz
yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya.
Dengan demikian dapat dibedakan antara khas dan khushush, meskipun
dalam pengertian Bahasa Indonesia sering disamakan. Pengertian khas adalah
apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafadz.
Sedangkan pengertian khushush adalah apa yang dikhususkan menurut
ketentuan Bahasa, bukan berdasarkan kemauan.[9]
2.
Hukum Khas
Bila ada suatu lafadz khas dalam nash syariy maka makna yang khas yang
ditunjuk oleh lafadz itu adalah khath’iy ( قطعيّ)
bukan dhanny ( ظنيّ), selama tidak ada dalil-dalil lain yang
mengalihkannya kepada tidak qath’iy, contohnyanya:
وَالْمُطَلَّقَتُ يَتَرَبَّصْنَبِاَنْفُسِهِنَّثَلَثَةَقُرُوْ᷉ءٍ
Artinya: Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu hendaklah menunggu
idah mereka selama tiga quru’ (haid atau suci). (Q.S. 2:228).
Lafadz tsalatsah ( ثلاثة )
di situ adalah khas dan maknanya qathiy. Jadi wanita yang ditalak oleh suaminya
harus beriddah selama tiga quru’ penuh. Ini artinya lafadz quru’ itu harus
ditafsirkan dengan arti haid. Bila ditafsirkan dengan makna suci sedang thalaq
yang disyariatkan dalam keadaan suci maka iddah wanita itu menjadi lebih
panjang, artinya lebih dari tiga quru’ bila keadaan suci pada waktu thalaq
dijatuhkan tidak diperhitungkan sebagai waktu iddah dan kurang dari tiga suci
bila diperhitungkan.[10]
3.
Bentuk-bentuk Lafadz
Khas
a.
Lafadz khas berbentuk mutlak, yaitu lafadz khas yang tidak ditentukan
dengan sesuatu. Maksudnya, jika di dalam nash itu ditemukan lafadz khas, maka
lafadz itu harus diartikan sesuai dengan arti yang haqiqi, selama tidak ada
dalil yang memalingkan arti haqiqi ke arti lain. Contoh dalam surat Annur ayat
4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
b.
Lafadz khas berbentuk muqoyyad, yaitu lafadz yang ditentukan dengan
sesuatu. Contoh dalam surat An-nisa’ ayat 92:
وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya: Barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman.
c.
Lafadz khas berbentuk Amr, yaitu jika lafadz khas berbentuk amr atau
berbentuk kata yang mengandung arti amr atau khabar, maka hukumnya adalah
wajib. Contoh dalam surat An-nisa ayat 58:
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
Artinya: Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
d.
Lafadz khas berbentuk
larangan, contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ
Artinya: Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.[11]
STUDI KASUS
Pada sekitar satu minggu yang lalu telah
tejadi kasus penipuan berantai yang dilakukan 2 oknum aparat abal-abal yang
membuat 5 sekolah di kabupaten Tulungagung menjadi korbannya. Kasus ini sudah
dilakukan pelaku sejak 2 bulan yang lalu dan aksi pemerasan ini dilakukan di
MTsN 1 Tulungagung, SMKN 1 Sumbergempol, MTsN Aryojeding, SMKN 3 Boyolangu, dan
yang terakhir di MAN 2 Tulungagung hingga terkumpul uang lebih dari Rp120 juta.
Dari hasil penyelidikan polisi, diketahui pelaku mengaku datang ke
sekolah-sekolah tersebut untuk mengaudit keuangan sumbangan. Pelaku menggunakan
pemerasan kepada pihak sekolah, dengan motivasi ingin menguntungkan dirinya
sendiri.
Dari contoh kasus tersebut dapat kita
ambil pelajaran bahwasanya nafsu manusia saat ini hanya mementingkan keuntungan
semata entah apapun caranya dan usahanya tanpa memikirkan resiko dan orang lain
yang menjadi korban dari perbuatannya tersebut. Kita sebagai umat islam harus
senantiasa membentengi diri kita dari nafsu-nafsu ataupun perbuatan tercela
tesebut. Allah swt berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan
sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian
kamu tidak akan diberi pertolongan”. (QS Hud : 113). Dalam kasus ini berkaitan
dengan lafadz khas berbentuk nahi yang berisi tentang larangan-larangan untuk
melakukan perbuatan atau sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam islam.
Penguasaan dan pemahaman lafadz khas nahi ini sangat dibutuhkan umat islam
karena kita jangan Cuma sekedar membaca lafadz/ayat”nya saja, tetapi kita juga
harus memahami apa isi dan maksud lafadz tersebut. Sehingga kita dapat
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela tersebut karena kita sudah mengetahui isi dan makna dari
lafadz tersebut. Dan menurut saya solusi dari kasus tersebut kita harus selalu
berhati-hati kepada oknum-oknum ataupun organisasi-organisasi yang belum jelas
kebenarannya dan juga kita harus memperkuat iman kita dengan cara mendekatkan
diri kepada Allah swt agar kita tidak mudah terpengaruh dan tidak mudah percaya
kepada orang-orang yang belum kita tau kejelasannya.
KESIMPULAN
Salah satu
unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji islam adalah
Ilmu Ushul Fiqih, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yag dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang
diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Salah satu dari kaidah ushul fiqih
adalah lafadz ‘Aam dan lafadz Khas. ‘Amm (umum) ialah suatu lafadz yang
dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada
makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Setiap lafadz (kata)
mengandung dua lingkup pembahasan, yaitu (1) lafadz itu sendiri, yang tersusun
dari huruf-huruf, dan (2) makna atau arti yang terkandung dalam lafadz
itu. Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘am
itu pada hakikatnya berada dalam lingkup lafadz, karena ia menunjukkan
pengertian-pengertian yang terkandung didalamnya. Sedangkan Khas (khusus)
adalah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu berupa orang,
seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki atau beberapa satuan yang bermacam-macam
dan terbatas, seperti tiga belas, serratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok
dan lafadz lain yang menunjukkan jumlah satuan dan tidak menunjukkan cakupan
kepada seluruh satuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Adhlan, Ahmad, Ushul
Fiqih, Jakarta,2010
Bakry, Nazar, Fiqh
&Ushul Fiqh, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
Bakry, Sidi
Nazar, Fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Khallaf, Abdul
Wahhab, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani,
2003
Khallaf, Abdul Wahhab,
Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005
Mu’in. Asymuni
dkk, Ushul Fiqih, Jakarta: Depag RI, 1986
Syarifudin,
Amir, Ushul Fiqh jilid 2 Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu
Umam, Khairul
dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia
[1] Nazar
Bakry, Fiqh &Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003),
hlm. 198
[2] Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh jilid 2 (Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu), hlm.
48-49
[3] Khairul
Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia),
hlm. 61
[4] http://ainunnajib1994.blogspot.co.id/2016/02/makalah-amm-dan-khas.html?m=1#
diakses tanggal 6 April 2017, pukul 09:24
[5] http://www.rumahpintarr.com/2016/09/makalah-seputar-pengertian-amm-dan-khas.html?m=1
diakses tanggal 6 April 2017, pukul 09:28
[6] https://www.google.co.id/amp/s/ruruls4y.wordpress.com/2012/04/07/lafadz-am-dan-lafadz-khas/amp
diakses tanggal 28 Maret 2017, pukul. 01:19
[7] Sidi
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hlm.199
[8] Ahmad
Adhlan, Ushul Fiqh, (Jakarta.2010), hlm. 86
[9] Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2003), hlm. 281
[10] Mu’in.
Asymuni dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta: Depag RI, 1986), hlm. 6-7
[11] Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005),
hlm.242
Tidak ada komentar:
Posting Komentar