Jumat, 16 Juni 2017

AMAR DAN NAHI






Nama Anggota                                    : 1. Dimas Aji Geofani Saskia
                                                              2.  Yuliana Ekoningtyas
                                                              3. Lili Nur Indah Sari
Kelas                                                   : 2-J
Jurusan                                                :Ekonomi Syariah
Mata Kuliah                                        : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu                                : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum. M.Pd.

                                                            AMAR DAN NAHI


PENDAHULUAN
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Salah satu contoh dari hukum yang ada di Al-Quran dan Hadist yaitu hukum yang membahas Amar dan Nahi (perintah dan larangan Allah) dalam pembahasan ini Allah menjelaskan tentang berbagai macam lafadz yang di dalamnya mengandung unsur perintah dan larangan yang harus di patuhi umat Islam dalam kehidupannya sehari-hari.
Adapun rumusan masalahnya adalah 1.) Apa pengertian Amar? 2.) Apa definisi Amar? 3.) Apa sighat Amar? 4.) Apa definisi Nahi? 5.) Apa petunjuk atau tuntunan Nahi? 6.) Apa hakikatnya? 7.) Apa tuntunan lafadz Nahi?
Sedangkan tujuannya adalah 1.) Untuk mengetahui pengertian Amar 2.) Untuk mengetahui definisi Amar 3.) Untuk mengetahui sighat Amar 4.) Untuk mengetahui defini Nahi 5.) Untuk mengetahui tuntunan Nahi 6.) Untuk mengetahu hakikatnya 7.) Untuk mengetahui tuntunan lafadz Nahi.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Amar
Di antara bentuk khithob atau titah Allah SWT dalam menyampaikan pesan_pesan hukum yang di sampaikan kepada umatnya melalui firman nya maupun sunah Rasulnya adalah dengan bentuk lafadz amar atau perintah. Jadi secara etimologi makna amar itu adalah perintah. Sedangkan secara terminology yang berkaitan dengan pembahasan hukum syar’i , para ulama ushul fiqih memberikan pengertian antara lain sebagai berikut. Menurut Abdul Hamid Hakim, bahwa amar adalah: Tuntutan untuk memperbuat sesuatu dari fihak atasan (fihak yang lebih tinggi kedudukannya) kepada pihak bawah ( atau fihak yang lebih rendah kedudukannya).[1]
Ja’far amir mengutip definisi Al Amru dari Kitab Irsyadul yang harus dilakukan.
Amar adalah perintah dengan lesan untuk mewujudkan sesuatu perbuatan yang harus dilakukan.
            Terkadang suatau lafadz disampaikan pula dengan bentuk amar/perintah  namu apabila hal itu disampaikan orang sederajat maka tidak di maksud sebagai amar secara ilmu ushul fiqih, ia adaalah iltimitas. Demikian pula apabila suatu lafadz dengan bentuk amar dan bukan amar seperti yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqih. Demikian bentuk-bentu lafadz amar, [2]
a.      Bentuk lafadz Amar
Ada beberapa bentu lafadz yang mengindikasikan di dalamnya mengandung kalam amar/ perintah, antara lain berbentuk;
a.       Fi’il amar: misalnya:   dudukah ; kamu semua menulislah
b.      Islim fi’il amar, misalnya: jagalah dirimu ; berbuatlah jujurlah kamu
c.       Masdar pengganti fi’il, misalnya; berbuatlah baik pada kedua orang tuamu
d.      Kalam khabar yang mengandung amar misalnya:  orang perempuan yang ditalak mereka (mereka) menunggu tiga guru
b.      Kandungan /kedudukan hukum dari kalam amar
Ada dua qoidah/rumus yang diajukan ulama tentang kedudukan ulama tentang kedudukan hukum dari kalam amar terkait dengan ahkamu taklifiyah. Masing-masing golongan/pendapat dengan qoidahnya dan alasannya masing-masing.[3]
a.        Golongan pertama menyatakan bahwa setiap amar/ perintah itu pada dasarnya menunjukkan hukum wajib. Pada dasarnya setiap perintah itu menunjukkan hukum wajib.
Menurut qoidah ini apabila tidak ada qorinah/ keterangan lain, maka setiap perintah itu kedudukannya adalah wajib ditunaikan/dikerjakan . Hal ini karena tanpa ada keterangan /qorinah tersebut berarti perintah itu jazm (mengikat/tegas ) maka hukumnya adalah wajib.
b.      Golongan kedua menyatakan bahwa setiap perintah itu pada dasarnya hanya anjuran/nadab atau sunnat saja[4].
Ulama berbeda pendapat dalam hal penggunaan kata “amar” selain untuk ucapan tertentu.
1.      Kebanyakan ulama berpendapat bahwa pengguaan amar selain untuk arti ucapan tertentu, adalah secara majazi dan bukan untuk penggunaan sebenarnya (tidak hakiki).
a.       Kalau kata amar digunakan pula secara hakiki untuk perbuatan sedangkan telah disepakati penggunaan secara hakiki untuk arti “ucapan”, tertentu akan terdapat pengguanan hakiki yang berganda atau musytarak. Hal yang demikian menyalahi prinsip, karena akan mengaburkan pemahaman dan untuk memahami maksudnya di perlukan qarinah. Karena menjadi samar maka tujuan yang dimaksud amar dengan arti “ucapan”, tidak akan tercapai.
b.      Amar yang digunakan secara hakiki untuk arti “ucapan” tertentu dalam bentuk jama (plural/jamak) adalah awamir merupakan kelaiman bagi amar, bukan karena ia bernama ddalam arti “perbuatan” karena meskipun ia dinamakan amar namun tidak mempunyai mamur.
c.       Dari amar dalam arti hakiki adalah ia bersifat dipatuhi atau dilarang. Hal yang demikian tidak terdapat pada amardalam arti “perbuatan”.[5]
B.     Definisi Amar
Dalam setiap kata amar mengandung tiga unsure yaitu:
a)      Yang mengucapakan kata amar atau yang menyuruh.
b)      Yang dikenai kata amar atau yang disuruh .
c)      Ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.
C.    Sighat Amar
Di kalangan ulama ushul diperbicangkan tentang apakah dalam amar (menurut orang mengejarkan sesuatu) ada ucapan yang dikususkan untuk itu sehingga dengan ucapan itu akan diketahui bahwa maksud adalah perintah untuk berbuat. Atau untuk amar tu tidak ada kata khusus, tetapi untuk menyatakan sebagai suruhan tergantung kepada kehendak orang yang menggunakan kata amar itu.[6]
 Dalam hal ini terdapat perbedaan di kalangan ulama:
1.      Kebanyakan ulama Ushul fiqih berpendapat bahwa untuk tujuan menyuruh (amar)  itu ada ucapan tertentu dalam pengguanaan bahasa sehingga tanpa ada qarinah  apapun kita mengetahui bahwa maksudnya adalah perintah.
2.      Abu al-Hasan (dari kalangan ulama Mu’tazilah) berpendapat bahwa amar itu tidak dinamakan amar dengan semata melihat kepada lafadznya. Tetapi dapat dinamakan amar karena ada kehendak dari orang yang menyuruh untuk melakukan perbuatan itu.
3.      Abul Hasan dari kalangan ulama al-Asy’ariah berpendapat bahwa amar itu tidak mempunyai sighat tertentu. Ia memiliki makna yang berdidri sendiri dan tidak berbeda dari zatnya.[7]

D.    Definisi Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.[8]

Pembicaraan ulama dalam pembahasan tentang amar yang menyangkut hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan kedudukan yang memberikannya, berlaku pula dalam pembicaraan tentang “nahi” (larangan). Hal ini pun berpengaruh dalam merumuskan definisi “nahi” tersebut.
1.      Ulama yang mensyaratkan kedudukan yang lebih bagi yang menyuruh memberikan definisi sebagi berikut: هؤ طاب ا للتر ك من ال عاي الا د نى[9]
tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
2.      Ulama yang mempersaratkan adanya sikap meninggi waktu menyapaikan nahi itu memberi definisi:هؤ قتضا ء كف علي و جه ا لا ثتعلا ء  
tuntunan untuk meninggalkan meningi.
3.      Definisi yang lebih lengkap ialah:هو طاب ا لكف على و جه الا لزام بلافظ غير نحو كو
 Tuntunan untuk meninggalkan secara pasti tidak menggunakan “ Tingalkanlah”, atau yang sejenisnya.
Kata tuntunan meninggalkan menunjukkan bahwa nahi itu adalah suruhan untuk meninggalkan suatu perbuatan atau suruhan untuk tidak berbuat apa-apa.
Kata bertujuan untuk memisahkan “nahi” itu dari “doa” dan permintaan, meskipun sama-sama menghendaki untuk tidak berbuat.[10]
Adapun kata di ujung definisi itu memberiakan pengertian bahwa walaupun yang dikehendaki itu adalah untuk berbuat tetapi menggunakan kata yang didahului “larangan” sehingga tetap dinamakan nahi: contohnya ucapan jangan bergerak.sebaliknya walaupun yang dikehendaki adalah untuk tidak berbuat, tetapi jika menggunakan kata amar, maka tidak dianamkan nahi, umpamanya ucapan: diamlah ucapan ini bukanlah nahi.[11]






E.     Petunjuk atau Tuntunan  Nahi
Nahi itu menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan kata yang di dahulu oleh kata larangan, yaitu “la’taf al”(لا تفعل )  atau yang setimbang dengan kata itu.
Dalam Al-Quran, nahi yang menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud.
a.       Untuk hukum haram (حر ا م ) . Umpamanya firman Allah dalam surat al-isra (17):33;
Jangan lah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
b.      Untuk mendidik (ا ر شا د). Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maidah (5);101:
Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,niscaya menyusahkan kamu.[12]
F.     Hakikat Larangan
Memang dalam Al-Quran terdapat beberapa kemungkinan maksud dan larangan. Untuk apa sebenarnya (hakikat) nahi itu dalam pengertian lughawi? Hal ini menjadikan perbincanagan di kalangan ulama. Pembicaraan dan pendapat yang berkembang dalam hal ini sama dengan pendapat yang berkembang dalam membicarakan hakikat amar.
1.      Jumhur ulama yang berpendapat bahwa amar itu menurut hakikat ashalnya adalah untuk wujuh,berpendapat bahwa hakikat asal nahi adalah haram dan baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil lain yang menunjukkan[13]
2.      Ulama Mu’tailah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk nadb(sunat), berpendapat bahwa nahiitu menimbulkan hukum karahah (makruh). Berlakunya untuk haram tidak di ambil dari larangan itu sendiri, tetapi karena ada dalil lain yang member petunjuk.
3.      Ulama yang berpendapat bahwa lafadz amar, itu pengertiannya mustarak berpendapat bahwa nahi itu adalah mustarak (pengertian ganda) antara beberapa makssud tersebut.[14]



G.    Tuntunan lafadz Nahi untuk Selamanya
Perbedaan pendapat ulama dalam hal apakah amar mutlak menutut melakukan perbuatan secara terus-menerus (selamanya), berlaku pula dalam hal apakah nahi itu berlaku untuk sepanjang masa atau tidak.
1.      Ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan perintah mengerjakan untuk selamanya, berpendapat bahwa larangan juga tidak menunjukkan berlakunya larangan itu untuk sepanjang masa. Tuntunan berlakunya untuk sepanjang masa tidak muncul dari lafadz itu sendiri tetapi dari dalil lain yang menyertainya.
2.      Ulama yang berpendapat bahwa amar menurut perintah mengerjakan untuk senalarnya, berpendapat bahwa nahi juga menuntut larangan sepanjang masa, namun dapa menerima pembatasan waktu jika ada dalilnya.[15]
H.    Tuntunan Lafadz Nahi atas Kesegaran Berbuat
Pembicaraan di kalangan ulama yang berhubugan dengan tuntunan amar atas kesegaran berbuat berlaku pula pada nahi, apakah menghendaki kesegaran meninggalkan larangan atau boleh ditangguhkan.
1.      Ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan kesegaran untuk dilakukan, berpendapat bahwa nahi juga tidak menghendaki kesegaran untuk di tinggalkan. Adanya kesegaran tidak datang dari lafadz itu sendiri tetapi dari dalil lain yang menjelaskan.
2.      Ulama yang berpendapat bahwa amar itu menuntut kesegaran untuk dilakukan, berpendapat bahwa nahi juga menuntut kesegaran untuk meninggalkannyaa apa yang dilarang.
3.      Ulama yang bersikap tawaqquf dalam amar, demikian juga pendapat tentang nahi, menurutnya, antara amar dan nahi terdapat kesamaan yaitu sama-sama tuntunan.[16]


STUDI KASUS
Balap liar di Kabupaten Blitar, Kecamatan Selopuro,tepatnya di bulak indah selopuro balap liar sangat meresahkan warga dan meganggu masyarakat, dan sangat membahayakan pengguna jalan lain, dan rawan sekali dengan kriminalitas contohnya mabuk-mabukan, menggunakan obat terlarang, tawuran anatar joki, dan disertai dengan judi.
Taruhan balap liar ini tidak sedikit dalam taruhannya hingga jutaan bahkan sampai
puluhan juta, adanya balap liar ini dikarenakan adanya persaingan anatara bengekel dan joki. sedangkan pemerintah kurang memfasilitasi sirkuit dan hadiah yang menarik. dan di dalam peneggak hukum sendiri juga memberi keleluasaan dan mudah di beri uang pelican untuk penyelengaraan balap liar.
            Sebenarnya dalam ushul fiqih balapan adalah perilaku yang tidak dilarang jika dilaksanakan secara resmi, namun pada kenyataanya efen resmi jarang sekali di selenggarakan sehingga memicu terjadinya balap liar dan berjudi. Dari peristiwa tersebut hukum balapan menjadi dilarang karena dilaksanakan ilegal karena berjudi dan meresahkan masyarakat.
Sebenarnya dalam Al-Quran sendiri sudah jelas-jelas larangan mengenai judi, dan menghambur hamburkan uang. Salah satu contohnya dalam (QS. Al-Maidah: 90) yang berbunyi Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jahuilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.


KESIMPULAN
Dari peristiwa din atas dapat kita simpulkan bahwa sangat di perlukan ushul fiqih terutama dalam bab amar dan nahi. Karena generasi muda jaman sekarang itu sudah di bekali akal sejak kecil, hingga besar mereka sudah disekolahkan tapi penerapan ilmu agama masih sulit dilakukan dengan maksimal, masih banyak mereka yang salah dalam memanfaatkan kendaraan contohnya balap liar yang di sertai berjudi, bahkan sampai mabuk-mabukan daan tawuran.
            Perlu ditekankan bahwa Allah benar benar melarang berjudi. Kita sebagai umat muslim juga harus benar mengerti apa itu Amar dan Nahi, Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan. Sedangakan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan.

REFERENSI

Abu Zahro,Muhamad, Ushul Fiqh (Arab : Al-Fikr.
Amir, Syarifudin,Ushul Fiqih jilid.
al Khurdi, Muhamad, Ushul Fiqh, Khairo : Maktabah taufiqiah.
Djali, Basiq, Ushul Fiqh 1 dan 2, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Dzazuli, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media.
Efendi,Satria dan Ma’shum Zein, UshulFiqh, Jakarta: KencanPerdana Media Group.
Karim,Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.
Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Rifai,Moh., Ushul Fiqh, Bandung : PT. Al Ma’arif.
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh.
Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh.
Syaifuddin, Amir, Ushul fiqih jiid II, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Uman,Chaerul dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia.
Yahya,Muktar dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Bandung; Alma’arif.
Zein Zudbah,Muhammad Ma’sum, UshulFiqh,(Jawa timur : Darul Hikmah.
Zuhri, Moh., dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha Putra Group,1994.




[1] Syarifudin Amir,Ushul Fiqih jilid 2 hlm 29.
[2] Muktar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung; Alma’arif)hlm 191.
[3] Muhamad al Khurdi, Ushul Fiqh, (Khairo : Maktabah taufiqiah). hal. 236.
[4] Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh,(Jawa timur : Darul Hikmah, 2008). hal. 52
[5] Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia, 2001). .hal .87.

[6] Moh. Rifai, Ushul Fiqh, (Bandung : PT. Al Ma’arif). hal. 67.
[7] Moh.Zuhri, dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, ( Semarang: Toha Putra Group,1994) .hal .306.

[8] M. Zein Satria Efendi, Ushul Fiqh, hal 178.
[9] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm 180.
[10] Mardani, Ushul Fiqh ( Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2013). Hal. 205.
[11] Amir Syaifuddin, Ushul fiqih jiid II, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu,1999). hal. 171.
[12] Basiq Djali, Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2010). hal. 67.
[13] Dzazuli, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana Prenada Media, 2007). hal. 98.
[14] Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia,2001). hal..224.

[15] Muhamad Abu Zahro, Ushul Fiqh (Arab : Al-Fikr ). hal. 176
[16] Satria Efendi dan Ma’shum Zein, UshulFiqh,( Jakarta: KencanPerdana Media Group) hal. 187-190

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

  Kelompok : 1 2 Nama               : DIAN ARSITA                           MOH.SAIFUL NIZAM                           LUTFIANA...