Nama Anggota : 1. Dimas
Aji Geofani Saskia
2.
Yuliana Ekoningtyas
3. Lili Nur Indah Sari
Kelas : 2-J
Jurusan :Ekonomi Syariah
Mata Kuliah
: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu
: Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum. M.Pd.
AMAR
DAN NAHI
PENDAHULUAN
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum
mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu
hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian
lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu
al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna
yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan
bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari
dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau
hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Salah satu contoh dari
hukum yang ada di Al-Quran dan Hadist yaitu hukum yang membahas Amar dan Nahi
(perintah dan larangan Allah) dalam pembahasan ini Allah menjelaskan tentang
berbagai macam lafadz yang di dalamnya mengandung unsur perintah dan larangan
yang harus di patuhi umat Islam dalam kehidupannya sehari-hari.
Adapun
rumusan masalahnya adalah 1.) Apa pengertian Amar? 2.) Apa definisi Amar? 3.)
Apa sighat Amar? 4.) Apa definisi Nahi? 5.) Apa petunjuk atau tuntunan Nahi?
6.) Apa hakikatnya? 7.) Apa tuntunan lafadz Nahi?
Sedangkan
tujuannya adalah 1.) Untuk mengetahui pengertian Amar 2.) Untuk mengetahui
definisi Amar 3.) Untuk mengetahui sighat Amar 4.) Untuk mengetahui defini Nahi
5.) Untuk mengetahui tuntunan Nahi 6.) Untuk mengetahu hakikatnya 7.) Untuk
mengetahui tuntunan lafadz Nahi.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Amar
Di
antara bentuk khithob atau titah Allah SWT dalam menyampaikan pesan_pesan hukum
yang di sampaikan kepada umatnya melalui firman nya maupun sunah Rasulnya
adalah dengan bentuk lafadz amar atau perintah. Jadi secara etimologi makna
amar itu adalah perintah. Sedangkan secara terminology yang berkaitan dengan
pembahasan hukum syar’i , para ulama ushul fiqih memberikan pengertian antara
lain sebagai berikut. Menurut Abdul Hamid Hakim, bahwa amar adalah: Tuntutan
untuk memperbuat sesuatu dari fihak atasan (fihak yang lebih tinggi kedudukannya)
kepada pihak bawah ( atau fihak yang lebih rendah kedudukannya).[1]
Ja’far
amir mengutip definisi Al Amru dari Kitab Irsyadul yang harus dilakukan.
Amar
adalah perintah dengan lesan untuk mewujudkan sesuatu perbuatan yang harus
dilakukan.
Terkadang
suatau lafadz disampaikan pula dengan bentuk amar/perintah namu apabila hal itu disampaikan orang
sederajat maka tidak di maksud sebagai amar secara ilmu ushul fiqih, ia adaalah
iltimitas. Demikian pula apabila suatu lafadz dengan bentuk amar dan bukan amar
seperti yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqih. Demikian bentuk-bentu lafadz amar,
[2]
a. Bentuk lafadz Amar
Ada
beberapa bentu lafadz yang mengindikasikan di dalamnya mengandung kalam amar/
perintah, antara lain berbentuk;
a. Fi’il
amar: misalnya: dudukah ; kamu semua
menulislah
b. Islim
fi’il amar, misalnya: jagalah dirimu ; berbuatlah jujurlah kamu
c. Masdar
pengganti fi’il, misalnya; berbuatlah baik pada kedua orang tuamu
d. Kalam
khabar yang mengandung amar misalnya: orang perempuan yang ditalak mereka (mereka)
menunggu tiga guru
b. Kandungan /kedudukan hukum dari kalam amar
Ada
dua qoidah/rumus yang diajukan ulama tentang kedudukan ulama tentang kedudukan
hukum dari kalam amar terkait dengan ahkamu taklifiyah. Masing-masing
golongan/pendapat dengan qoidahnya dan alasannya masing-masing.[3]
a. Golongan pertama menyatakan bahwa setiap amar/
perintah itu pada dasarnya menunjukkan hukum wajib. Pada dasarnya
setiap perintah itu menunjukkan hukum wajib.
Menurut qoidah ini
apabila tidak ada qorinah/ keterangan lain, maka setiap perintah itu
kedudukannya adalah wajib ditunaikan/dikerjakan . Hal ini karena tanpa ada
keterangan /qorinah tersebut berarti perintah itu jazm (mengikat/tegas ) maka
hukumnya adalah wajib.
b. Golongan
kedua menyatakan bahwa setiap perintah itu pada dasarnya hanya anjuran/nadab
atau sunnat saja[4].
Ulama
berbeda pendapat dalam hal penggunaan kata “amar” selain untuk ucapan tertentu.
1. Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa pengguaan amar selain untuk arti ucapan tertentu,
adalah secara majazi dan bukan untuk penggunaan sebenarnya (tidak
hakiki).
a. Kalau
kata amar digunakan pula secara hakiki untuk perbuatan sedangkan telah
disepakati penggunaan secara hakiki untuk arti “ucapan”, tertentu akan terdapat
pengguanan hakiki yang berganda atau musytarak. Hal yang demikian menyalahi
prinsip, karena akan mengaburkan pemahaman dan untuk memahami maksudnya di
perlukan qarinah. Karena menjadi samar maka tujuan yang dimaksud amar
dengan arti “ucapan”, tidak akan tercapai.
b. Amar yang digunakan secara
hakiki untuk arti “ucapan” tertentu dalam bentuk jama (plural/jamak)
adalah awamir merupakan kelaiman bagi amar, bukan karena ia bernama ddalam
arti “perbuatan” karena meskipun ia dinamakan amar namun tidak mempunyai mamur.
c. Dari
amar dalam arti hakiki adalah ia bersifat dipatuhi atau dilarang. Hal yang
demikian tidak terdapat pada amardalam arti “perbuatan”.[5]
B. Definisi Amar
Dalam setiap kata amar
mengandung tiga unsure yaitu:
a) Yang
mengucapakan kata amar atau yang menyuruh.
b) Yang
dikenai kata amar atau yang disuruh .
c) Ucapan
yang digunakan dalam suruhan itu.
C. Sighat Amar
Di kalangan ulama
ushul diperbicangkan tentang apakah dalam amar (menurut orang mengejarkan
sesuatu) ada ucapan yang dikususkan untuk itu sehingga dengan ucapan itu akan
diketahui bahwa maksud adalah perintah untuk berbuat. Atau untuk amar tu
tidak ada kata khusus, tetapi untuk menyatakan sebagai suruhan tergantung
kepada kehendak orang yang menggunakan kata amar itu.[6]
Dalam hal ini terdapat perbedaan di kalangan
ulama:
1. Kebanyakan
ulama Ushul fiqih berpendapat bahwa untuk tujuan menyuruh (amar) itu ada ucapan tertentu dalam pengguanaan
bahasa sehingga tanpa ada qarinah apapun
kita mengetahui bahwa maksudnya adalah perintah.
2. Abu
al-Hasan (dari kalangan ulama Mu’tazilah) berpendapat bahwa amar itu
tidak dinamakan amar dengan semata melihat kepada lafadznya. Tetapi dapat
dinamakan amar karena ada kehendak dari orang yang menyuruh untuk melakukan
perbuatan itu.
3. Abul
Hasan dari kalangan ulama al-Asy’ariah berpendapat bahwa amar itu tidak
mempunyai sighat tertentu. Ia memiliki makna yang berdidri sendiri dan
tidak berbeda dari zatnya.[7]
D. Definisi Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang
(al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang
sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk
meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi
dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah
orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.[8]
Pembicaraan ulama dalam pembahasan tentang amar yang
menyangkut hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan kedudukan yang memberikannya,
berlaku pula dalam pembicaraan tentang “nahi” (larangan). Hal ini pun
berpengaruh dalam merumuskan definisi “nahi” tersebut.
1.
Ulama yang mensyaratkan kedudukan yang lebih bagi yang
menyuruh memberikan definisi sebagi berikut: هؤ
طاب ا للتر ك من ال عاي الا د نى[9]
tuntutan
untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
2. Ulama
yang mempersaratkan adanya sikap meninggi waktu menyapaikan nahi itu
memberi definisi:هؤ قتضا ء كف علي و جه ا لا ثتعلا ء
tuntunan
untuk meninggalkan meningi.
3. Definisi
yang lebih lengkap ialah:هو طاب ا لكف على و جه الا
لزام بلافظ غير نحو كو
Tuntunan untuk meninggalkan secara pasti
tidak menggunakan “ Tingalkanlah”, atau yang sejenisnya.
Kata
tuntunan meninggalkan menunjukkan bahwa nahi itu adalah suruhan untuk
meninggalkan suatu perbuatan atau suruhan untuk tidak berbuat apa-apa.
Kata
bertujuan untuk memisahkan “nahi” itu dari “doa” dan permintaan, meskipun
sama-sama menghendaki untuk tidak berbuat.[10]
Adapun
kata di ujung definisi itu memberiakan pengertian bahwa walaupun yang
dikehendaki itu adalah untuk berbuat tetapi menggunakan kata yang didahului
“larangan” sehingga tetap dinamakan nahi: contohnya ucapan jangan
bergerak.sebaliknya walaupun yang dikehendaki adalah untuk tidak berbuat,
tetapi jika menggunakan kata amar, maka tidak dianamkan nahi, umpamanya ucapan:
diamlah ucapan ini bukanlah nahi.[11]
E. Petunjuk atau Tuntunan
Nahi
Nahi
itu menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan kata yang di dahulu oleh
kata larangan, yaitu “la’taf al”(لا تفعل ) atau yang setimbang dengan kata itu.
Dalam
Al-Quran, nahi yang menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud.
a. Untuk
hukum haram (حر ا م ) . Umpamanya firman
Allah dalam surat al-isra (17):33;
Jangan lah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
b. Untuk
mendidik (ا ر شا د). Umpamanya firman
Allah dalam surat al-Maidah (5);101:
Janganlah kamu menanyakan
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,niscaya menyusahkan kamu.[12]
F. Hakikat Larangan
Memang dalam Al-Quran
terdapat beberapa kemungkinan maksud dan larangan. Untuk apa sebenarnya
(hakikat) nahi itu dalam pengertian lughawi? Hal ini menjadikan
perbincanagan di kalangan ulama. Pembicaraan dan pendapat yang berkembang dalam
hal ini sama dengan pendapat yang berkembang dalam membicarakan hakikat amar.
1. Jumhur
ulama yang berpendapat bahwa amar itu menurut hakikat ashalnya adalah untuk
wujuh,berpendapat bahwa hakikat asal nahi adalah haram dan baru bisa menjadi
bukan haram bila ada dalil lain yang menunjukkan[13]
2. Ulama
Mu’tailah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk nadb(sunat),
berpendapat bahwa nahiitu menimbulkan hukum karahah (makruh).
Berlakunya untuk haram tidak di ambil dari larangan itu sendiri, tetapi karena
ada dalil lain yang member petunjuk.
3. Ulama
yang berpendapat bahwa lafadz amar, itu pengertiannya mustarak
berpendapat bahwa nahi itu adalah mustarak (pengertian ganda) antara beberapa
makssud tersebut.[14]
G. Tuntunan lafadz Nahi untuk Selamanya
Perbedaan pendapat ulama
dalam hal apakah amar mutlak menutut melakukan perbuatan secara terus-menerus
(selamanya), berlaku pula dalam hal apakah nahi itu berlaku untuk sepanjang
masa atau tidak.
1. Ulama yang
berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan perintah mengerjakan untuk selamanya,
berpendapat bahwa larangan juga tidak menunjukkan berlakunya larangan itu untuk
sepanjang masa. Tuntunan berlakunya untuk sepanjang masa
tidak muncul dari lafadz itu sendiri tetapi dari dalil lain yang menyertainya.
2. Ulama
yang berpendapat bahwa amar menurut perintah mengerjakan untuk senalarnya,
berpendapat bahwa nahi juga menuntut larangan sepanjang masa, namun dapa
menerima pembatasan waktu jika ada dalilnya.[15]
H. Tuntunan Lafadz Nahi atas Kesegaran Berbuat
Pembicaraan di kalangan
ulama yang berhubugan dengan tuntunan amar atas kesegaran berbuat berlaku pula
pada nahi, apakah menghendaki kesegaran meninggalkan larangan atau boleh
ditangguhkan.
1. Ulama
yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan kesegaran untuk dilakukan,
berpendapat bahwa nahi juga tidak menghendaki kesegaran untuk di tinggalkan.
Adanya kesegaran tidak datang dari lafadz itu sendiri tetapi dari dalil lain
yang menjelaskan.
2. Ulama
yang berpendapat bahwa amar itu menuntut kesegaran untuk dilakukan, berpendapat
bahwa nahi juga menuntut kesegaran untuk meninggalkannyaa apa yang dilarang.
3. Ulama
yang bersikap tawaqquf dalam amar, demikian juga pendapat tentang nahi,
menurutnya, antara amar dan nahi terdapat kesamaan yaitu sama-sama tuntunan.[16]
STUDI KASUS
Balap liar di
Kabupaten Blitar, Kecamatan Selopuro,tepatnya di bulak indah selopuro balap
liar sangat meresahkan warga dan meganggu masyarakat, dan sangat membahayakan
pengguna jalan lain, dan rawan sekali dengan kriminalitas contohnya
mabuk-mabukan, menggunakan obat terlarang, tawuran anatar joki, dan disertai
dengan judi.
Taruhan
balap liar ini tidak sedikit dalam taruhannya hingga jutaan bahkan sampai
puluhan juta, adanya balap liar ini
dikarenakan adanya persaingan anatara bengekel dan joki. sedangkan pemerintah
kurang memfasilitasi sirkuit dan hadiah yang menarik. dan di dalam peneggak
hukum sendiri juga memberi keleluasaan dan mudah di beri uang pelican untuk
penyelengaraan balap liar.
Sebenarnya
dalam ushul fiqih balapan adalah perilaku yang tidak dilarang jika dilaksanakan
secara resmi, namun pada kenyataanya efen resmi jarang sekali di selenggarakan
sehingga memicu terjadinya balap liar dan berjudi. Dari peristiwa tersebut
hukum balapan menjadi dilarang karena dilaksanakan ilegal karena berjudi dan
meresahkan masyarakat.
Sebenarnya dalam Al-Quran sendiri
sudah jelas-jelas larangan mengenai judi, dan menghambur hamburkan uang. Salah
satu contohnya dalam (QS. Al-Maidah: 90) yang berbunyi Hai orang-orang yang
beriman sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jahuilah
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
KESIMPULAN
Dari peristiwa din
atas dapat kita simpulkan bahwa sangat di perlukan ushul fiqih terutama dalam
bab amar dan nahi. Karena generasi muda jaman sekarang itu sudah di bekali akal
sejak kecil, hingga besar mereka sudah disekolahkan tapi penerapan ilmu agama
masih sulit dilakukan dengan maksimal, masih banyak mereka yang salah dalam
memanfaatkan kendaraan contohnya balap liar yang di sertai berjudi, bahkan
sampai mabuk-mabukan daan tawuran.
Perlu
ditekankan bahwa Allah benar benar melarang berjudi. Kita sebagai umat muslim
juga harus benar mengerti apa itu Amar dan Nahi, Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu
yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan. Sedangakan Menurut istilah adalah lafadz
yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan
menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan.
REFERENSI
Abu Zahro,Muhamad, Ushul
Fiqh (Arab : Al-Fikr.
Amir, Syarifudin,Ushul
Fiqih jilid.
al Khurdi, Muhamad, Ushul
Fiqh, Khairo : Maktabah taufiqiah.
Djali,
Basiq, Ushul Fiqh 1 dan 2, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Dzazuli,
Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada
Media.
Efendi,Satria dan Ma’shum Zein, UshulFiqh, Jakarta: KencanPerdana Media Group.
Karim,Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.
Mardani, Ushul
Fiqh, Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Rifai,Moh., Ushul
Fiqh, Bandung : PT. Al Ma’arif.
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh.
Shidiq, Sapiudin, Ushul
Fiqh.
Syaifuddin, Amir,
Ushul fiqih jiid II, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Uman,Chaerul dan Achyar
Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia.
Yahya,Muktar dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Bandung; Alma’arif.
Zein Zudbah,Muhammad Ma’sum, UshulFiqh,(Jawa
timur : Darul Hikmah.
Zuhri,
Moh., dan Ahmad Qarib,
Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha Putra
Group,1994.
[2]
Muktar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung;
Alma’arif)hlm 191.
[3]
Muhamad al Khurdi, Ushul Fiqh, (Khairo : Maktabah
taufiqiah). hal. 236.
[6]
Moh. Rifai, Ushul Fiqh, (Bandung : PT. Al Ma’arif). hal. 67.
[8]
M. Zein Satria Efendi, Ushul Fiqh, hal 178.
[9]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm 180.
[10]
Mardani, Ushul Fiqh ( Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2013). Hal. 205.
[12]
Basiq Djali, Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta
: Kencana Prenada Media Group,2010). hal. 67.
[13]
Dzazuli, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana Prenada Media, 2007). hal. 98.
[15]
Muhamad Abu Zahro, Ushul Fiqh (Arab : Al-Fikr ). hal. 176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar