KELOMPOK
1
NAMA ANGGOTA : 1. Anindia Putri Wahyuningtyas (17402163409)
2. Mewa Ajeng F.H (17402163411)
3. Dany Ahmad Faishal (17402163424)
KELAS : ES 2 J
JURUSAN : EKONOMI SYARIAH.
MATA KULIAH :
USHUL FIQH.
DOSEN :
Ahmad Yuzki Faridian, M. Pd.
ISTISHAB DAN
URF’
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam
istilah ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia
diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula
tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah
ketentuan itu.
Dalam ilmu ushul
fiqh ini terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya adalah ‘urf yang akan
saya coba diskusikan yang mana budaya atau ‘urf sebagai salah satu bagian dari
ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai
salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam
kehidupan nyata masyarakat.
Adapun rumusan masalah dalam materi ini adalah 1) Bagaimana definisi dari Istishab? 2)
Bagaimana perbedaan ulama tentang Istishab
3) Bagaimana definisi dan macam-macam Urf’? 4) Bagaimana syarat
keabsahan Urf’ sebagai landasan hukum?
Adapun tujuan dari materi ini adalah 1) Untuk mengetahui definisi
dari Istishab. 2) untuk mengetahui perbedaan ulama tentang Istishab. 3) Untuk
mengetahui definisi dan macam-macam Urf’. 4) Untuk mengetahui syarat keabsahan
Urf’ sebagai landasan hukum.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Istishab
Istishab secara
harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Dan Istihab secara etimologi berarti “meminta
ikut serta secara terus menerus”. Sedangkan menurut ulama Ushul adalah
menetapkan sesuatu menurut keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan
pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan perubahannya. [1]
Oleh sebab itu,
apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan
yang tidak ditemukan nash-nya dalam
Al-Qur’an dan As-Sunah, juga tidak ditentukan dalil syara’ yang mengitlak-kan
hukumnya, maka hukumnya adalah boleh.
Yaitu suatu keadaan, pada saat Allah SWT. menciptakan segala sesuatu yang ada
dibumi secara keseluruhan. Maka selama tidak terdapat dalil yang menunjukka atas perubahan dari
bolehnya, keadaan segala sesuatu itu dihukumi dengan sifat asalnya.[2]
Sedangkan
menurut istilah ahli Ushul Fiqih “menetapkan
hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang
menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut”.
Al-Ghazali mendefinisikan Istishab adalah berpegang pada dalil, tetapi setelah melalui pembahasan dan
penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah
ada. Menurut Ibn Qayyim Istishab
adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa
atau menyatakan bahwa ada nya hukum suatu peristiwa yang belum pernah
ditetapkan hukumya. Sedangkan definisi Asy-Syatibi adalah segala ketetapan yang
telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.[3]
B. Perbedaan Ulama Terkait Istishab
Kalangan Hanafiyah
dan Malikiyah menetapkan bahwa istishab
merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang
dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa istishab merupakan ketetapan sesuatu,
yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang
berbeda sampai ada dalil yang menetakan atas perbedaannya.
Kalangan
Hanbaliyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab
dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru
maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.[4]
Sehingga terang bahwasanya apabila ada suatu perkara sudah
ditetapkan pada suatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum
ada dalil baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabila ada suatu perkara ditolak
pada suatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir
masa sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.[5]
C.
Definisi dan Macam-macam URF’
Pengertian ‘Urf
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering di artikan
dengan al-ma’ruf dengan arti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah
segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa
ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.[6]
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu
Abidin,Al-Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam kitab
Al-Aisbah wa al-Nazhair berpendapat bahwa urf sama dengan adat tidak ada
perbedaan antara keduanya. Namun sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan
al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya
sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan
sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Sedangkan ‘urf ialah kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam perkataan atau
perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas daripada urf. Adat mencakup
seluruh jenis ‘urf. Tetapi tidak sebaliknya. Kebiasaan
individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan
sebagainya dinamakan adat tidak dikatakan ‘urf. Tetapi, dari sisi yang lain,
urf lebih umum daripada adat, sebab adat hanya menyangkut perbuatan , sedangkan
‘urf menyangkut perbuatan dan ucapan sekaligus.[7]
Macam-macam URF’
Para Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:
1.
Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan
yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk
perbuatan). [8]
a.
Al-urf al-lafdzi adalah
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu untuk
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging yang berarti
daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada.
b.
Al-‘urf al-amali adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa
adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak
terkait dengan kepentingan orang lain.[9]
2.
Dari segi cakupannya urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am
(kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang
besifat khusus).
a.
Al-urf al-am, adalah
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh daerah. Misalnya dalam
jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil,seperti
kunci,tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga
jual, tanpa akad sendiri,dan biaya tambahan.[10]
c.
Al-‘urf al-khas, adalah
kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan
para pedagang apabila terdapat cacat tertentu padabarang yang dibeli dapat
dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat
dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi
terhadap barang tertentu.[11]
3.
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagi dua yaitu
al-‘urfal shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
a.
Al-‘urf al shahih, adalah
kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist) tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa madarat bagi mereka.
Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak
wanita dan hadiah ini di anggap sebagai maskawin.[12]
b.
Al-‘urf al-fasid, adalah
kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar
yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan menghalalkan riba,seperti peminjam
uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah
dalam tempo satu bulan harus di bayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila
jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang
diraih peminjam, penambahan utang sebanyak 10% tidaklah memberatkan, karena
keuntngan sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan
tetapi, praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong
dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak
boleh saling melebihi.[13]
D.
Syarat Keabsahan Urf’ sebagai Landasan
Hukum
Abdul-Karim Zaidan menyebutkan
beberapa persyaratan bagi ‘urf yang
bisa dijadikan landasan hukum yaitu :[14]
1.
‘Urf harus termasuk ‘urf yang
sahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Misalnya, kebiasaan di satu negeri bahwa sah mengembalikan harta
amanah kepada istri atau anak dari pihak pemberi atau pemilik amanah. Kebiasaan
seperti ini dapat dijadikan pegangan jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik
harta sendiri.[15]
2.
‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti menimal tidak menjadi
kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.[16]
3.
‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadi suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘urf itu.
Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang
disebut ulama waktu itu hanyalah orang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada
persyaratan punya ijazah, maka kata para ulama dalam pernyataan wakaf itu harus
diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan dengan pengertian
ulama yang menjadi popular kemudian setelah ikrar wakaf terjadi misalnya harus
punya ijazah.[17]
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak
terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf
tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk
tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah
ketegasan itu, bukan ‘urf. Misalnya,
adat yang berlaku di suatu masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suami
pindah dari rumah orang tuannya sebelum melunasi maharnya, namun ketika berakad
kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang istri boleh dibawa oleh suaminya
pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu melunasi maharnya. Dalam masalah ini,
yang dianggap berlaku adalah kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku.
KESIMPULAN
Istishab adalah
menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya,sehingga ada dalil
yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. menurut ulama Ushul adalah
menetapkan sesuatu menurut keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan
pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan perubahannya. Sedangkan Urf’ segala sesuatu yang telah dikenal dan
menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan
sesuatu. Adapula yang berpendapat bahwa urf sama dengan adat tidak ada
perbedaan antara keduanya
Perlu di ingat bahwa suku bunga atau
riba itu dilarang oleh islam. Sehingga apabila kita menabung di bank
konvesional sama saja dengan kita menghalalkan riba. Padahal kita tahu bahwa di
agama islam sendiri tidak boleh mengunakan riba dalam transaksi apapun. Dan
disini bunga bank termasuk dalam Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang
beretentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam
syara’. Tetapi kebiasaan mengunakan suku bungan dalam bank sudah ada sejak dulu
maka dari itu kita harus mengjhilangkan hal tersebut dan lebih baik kita
menabung di bank syariah karena tidak menggunkan sistem bunga tetapi
menggunakan sistem bagi hasil.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi, Satria. Ushul Fiqih. 2005. Jakarta: Prenada Media
Suwarjin. Ushul Fiqh. 2012. Yogyakarta : Penerbit Teras
Syaefe’I, Rachmad. Ilmu Ushul Fiqih. 1999.
Bandung : CV. Pustaka Setia
Totok,
Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah,
2005
Umam, Khairul, Ushul Fiqih –I.
1998. Bandung : Pustaka setia
Wahhab Khallaf, Abdul. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. 1996.
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
[1]
Rachmad Syaefe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 125
[2]
Rachmad Syaefe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 125
[3]
Jumanto Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih
Amzah, 2005
[4]
Satria Effendi, Ushul Fiqih, (
Prenada Media: Jakarta, 2005) hal. 162
[6]
Suwarji, Ushul Fiqih, ( Penerbit
Teras : Yogyakarta, 2012) hal. 148-149
[7]
Suwarji, Ushul Fiqih, ( Penerbit
Teras : Yogyakarta, 2012) hal. 148-149
[8]
Khairul Umam, Ushul Fiqih-I, (
Pustaka setia: bandung, 1998) hal. 160
[9]
Khairul Umam, Ushul Fiqih-I, (
Pustaka setia: bandung, 1998) hal. 160
[10]
Khairul Umam, Ushul Fiqih-I, (
Pustaka setia: bandung, 1998) hal. 162
[11]
Khairul Umam , Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 162
[12] Khairul
Umam , Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 163
[13]
Khairul Umam , Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 164
[14]
Satria Effendi, Ushul Fiqih, (
Prenada Media: Jakarta, 2005) hal.
156-157
[15]
Satria Effendi, Ushul Fiqih, (
Prenada Media: Jakarta, 2005) hal.
156-157
[16]
Satria Effendi, Ushul Fiqih, (
Prenada Media: Jakarta, 2005) hal.
156-157
[17]
Satria Effendi, Ushul Fiqih, (
Prenada Media: Jakarta, 2005) hal.
156-157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar