Jumat, 16 Juni 2017

ISTISHAB DAN URF’








                                                                          

KELOMPOK 1
NAMA ANGGOTA         : 1. Anindia Putri Wahyuningtyas                       (17402163409)
                                             2. Mewa Ajeng F.H                                           (17402163411)
                                             3. Dany Ahmad Faishal                                     (17402163424)
KELAS                             : ES 2 J
JURUSAN                        : EKONOMI SYARIAH.
MATA KULIAH              : USHUL FIQH.
DOSEN                             : Ahmad Yuzki Faridian, M. Pd.

ISTISHAB DAN URF’
PENDAHULUAN
Latar Belakang
                        Dalam istilah ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
            Dalam ilmu ushul fiqh ini terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya adalah ‘urf yang akan saya coba diskusikan yang mana budaya atau ‘urf sebagai salah satu bagian dari ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam kehidupan nyata masyarakat.
Adapun rumusan masalah dalam materi ini adalah  1) Bagaimana definisi dari Istishab? 2) Bagaimana perbedaan ulama tentang Istishab  3) Bagaimana definisi dan macam-macam Urf’? 4) Bagaimana syarat keabsahan Urf’ sebagai landasan hukum?
Adapun tujuan dari materi ini adalah 1) Untuk mengetahui definisi dari Istishab. 2) untuk mengetahui perbedaan ulama tentang Istishab. 3) Untuk mengetahui definisi dan macam-macam Urf’. 4) Untuk mengetahui syarat keabsahan Urf’ sebagai landasan hukum.
PEMBAHASAN
A.    Definisi  Istishab
            Istishab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.  Dan Istihab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”. Sedangkan menurut ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. [1]
            Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, juga tidak ditentukan dalil syara’ yang mengitlak-kan hukumnya, maka hukumnya adalah  boleh. Yaitu suatu keadaan, pada saat Allah SWT. menciptakan segala sesuatu yang ada dibumi secara keseluruhan. Maka selama tidak terdapat  dalil yang menunjukka atas perubahan dari bolehnya, keadaan segala sesuatu itu dihukumi dengan sifat asalnya.[2]
            Sedangkan menurut istilah ahli Ushul Fiqih menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Al-Ghazali mendefinisikan Istishab adalah berpegang pada dalil, tetapi setelah melalui pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Menurut Ibn Qayyim Istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau menyatakan bahwa ada nya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumya. Sedangkan definisi Asy-Syatibi adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.[3]
B.     Perbedaan Ulama Terkait Istishab
            Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah menetapkan bahwa istishab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa istishab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetakan atas perbedaannya.
            Kalangan Hanbaliyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.[4]
Sehingga terang bahwasanya apabila ada suatu perkara sudah ditetapkan pada suatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum ada dalil baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabila ada suatu perkara ditolak pada suatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.[5]
C.    Definisi dan Macam-macam URF’
Pengertian ‘Urf
            Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering di artikan dengan al-ma’ruf dengan arti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.[6]
            Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin,Al-Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam kitab Al-Aisbah wa al-Nazhair berpendapat bahwa urf sama dengan adat tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘urf ialah kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam perkataan atau perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas daripada urf. Adat mencakup seluruh jenis ‘urf. Tetapi tidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat tidak dikatakan ‘urf. Tetapi, dari sisi yang lain, urf lebih umum daripada adat, sebab adat hanya menyangkut perbuatan , sedangkan ‘urf menyangkut perbuatan dan ucapan sekaligus.[7]

Macam-macam URF’
Para Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:
1.                  Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan). [8]
a.                   Al-urf al-lafdzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada.
b.                  Al-‘urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa  adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.[9]
2.      Dari segi cakupannya urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang besifat khusus).
a.                   Al-urf al-am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil,seperti kunci,tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri,dan biaya tambahan.[10]
c.                   Al-‘urf al-khas, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu padabarang yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.[11]

3.      Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagi dua yaitu al-‘urfal shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf  al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
a.                   Al-‘urf al shahih, adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa madarat bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini di anggap sebagai maskawin.[12]
b.                  Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan menghalalkan riba,seperti peminjam uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan harus di bayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebanyak 10% tidaklah memberatkan, karena keuntngan sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihi.[13]

D.    Syarat Keabsahan Urf’ sebagai Landasan Hukum          
            Abdul-Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang bisa dijadikan landasan hukum yaitu :[14]
1.                  ‘Urf harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Misalnya, kebiasaan di satu negeri bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari pihak pemberi atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta sendiri.[15]
2.                  ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti menimal tidak menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.[16]
3.                  ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadi suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu itu hanyalah orang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya ijazah, maka kata para ulama dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadi popular kemudian setelah ikrar wakaf terjadi misalnya harus punya ijazah.[17]
4.         Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf. Misalnya, adat yang berlaku di suatu masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suami pindah dari rumah orang tuannya sebelum melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang istri boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adalah kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku.

KESIMPULAN

            Istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya,sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. menurut ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Sedangkan Urf’ segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu. Adapula yang berpendapat bahwa urf sama dengan adat tidak ada perbedaan antara keduanya
            Perlu di ingat bahwa suku bunga atau riba itu dilarang oleh islam. Sehingga apabila kita menabung di bank konvesional sama saja dengan kita menghalalkan riba. Padahal kita tahu bahwa di agama islam sendiri tidak boleh mengunakan riba dalam transaksi apapun. Dan disini bunga bank termasuk dalam Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Tetapi kebiasaan mengunakan suku bungan dalam bank sudah ada sejak dulu maka dari itu kita harus mengjhilangkan hal tersebut dan lebih baik kita menabung di bank syariah karena tidak menggunkan sistem bunga tetapi menggunakan sistem bagi hasil.


DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. Ushul Fiqih. 2005. Jakarta: Prenada Media
Suwarjin. Ushul Fiqh. 2012.  Yogyakarta : Penerbit Teras
Syaefe’I, Rachmad. Ilmu Ushul Fiqih.  1999. Bandung : CV. Pustaka Setia
Totok, Jumantoro,  Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah, 2005
Umam, Khairul, Ushul Fiqih –I. 1998. Bandung : Pustaka setia
Wahhab Khallaf, Abdul.  Kaidah-Kaidah Hukum Islam. 1996. Jakarta : PT. RajaGrafindo           Persada
           









[1] Rachmad Syaefe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 125
[2] Rachmad Syaefe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 125
[3] Jumanto Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah, 2005
[4] Satria Effendi, Ushul Fiqih, ( Prenada Media: Jakarta, 2005) hal. 162
[5]Abdul Wahhab Khallaf , Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta : 1996) hal. 136
[6] Suwarji, Ushul Fiqih, ( Penerbit Teras : Yogyakarta, 2012) hal. 148-149
[7] Suwarji, Ushul Fiqih, ( Penerbit Teras : Yogyakarta, 2012) hal. 148-149
[8] Khairul Umam, Ushul Fiqih-I, ( Pustaka setia: bandung, 1998) hal. 160
[9] Khairul Umam, Ushul Fiqih-I, ( Pustaka setia: bandung, 1998) hal. 160
[10] Khairul Umam, Ushul Fiqih-I, ( Pustaka setia: bandung, 1998) hal. 162
[11] Khairul Umam , Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 162
[12] Khairul Umam , Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 163
[13] Khairul Umam , Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 164
[14] Satria Effendi, Ushul Fiqih, ( Prenada Media: Jakarta, 2005)  hal. 156-157
[15] Satria Effendi, Ushul Fiqih, ( Prenada Media: Jakarta, 2005)  hal. 156-157
[16] Satria Effendi, Ushul Fiqih, ( Prenada Media: Jakarta, 2005)  hal. 156-157
[17] Satria Effendi, Ushul Fiqih, ( Prenada Media: Jakarta, 2005)  hal. 156-157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

  Kelompok : 1 2 Nama               : DIAN ARSITA                           MOH.SAIFUL NIZAM                           LUTFIANA...