Nama:
Milawati Selvia Anggraeni (17402163442)
Gayuh
Wahyu Pratama (17402163416)
Siti
Rafidah Bin Sugito (17402163425)
Kelas:
II-J
Jurusan:
Ekonomi Syariah
Mata
Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen:
Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum. M.Pd
ISTIHSAN
DAN MASHLAHAH MURSALAH
PENDAHULUAN
Islam
merupakan agama yang di dalamnya
termaktub hukum yang mengatur perilaku umat islam. Hukum Islam dibedakan
menjadi dua yaitu sumber hukum yang disepakati meliputi Al-Qur’an dan
As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas dan sumber hukum yang tidak disepakati meliputi
istihsan, istishab, maslahah al mursalah, urf. Adapun penulis akan
memaparkan sumber hukum yang tidak disepakati yaitu istihsan dan maslahah
mursalah.
Adapun
rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah: 1. Apa definisi dan macam-masam istihsan?.
2. Bagaimana perbedaan pendapat para ulama mengenai istihsan?. 3. Apa
definisi dan macam-macam maslahah?` 4. Apa saja syarat-syarat maslahah
mursalah?
Adapun
tujuan dari pembahasan ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami definisi
dan macam-macam istihsan. 2. Untuk mengetahui pandangan para ulama yang berbeda mengenai istihsan.
3. Untuk mengetahui dan memahami definisi maslahah. 4. Untuk mengetahu
berbagai macam syarat maslahah mursalah.
ISI
1. Definisi dan macam-macam istihsan
Pengertian istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu
kepada yang baik. Menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan yang dilakukan oleh mujtahid dari qias jalli (jelas)
kepada qias khafi (tersembunyi), atau dari hukum kulli kepada hukum istinai.[1]
Istihsan
berarti
atau “adanya sesuatu yang lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”
atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.[2]
Macam-macam istihsan
Pertama, ditinjau dari
segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada
tiga macam, yaitu[3]
1. Beralih
dari apa yang dituntut oleh qiyas zhahir (qiyas jail) kepada yang
dikehendaki oleh qiyas khafi.
2. Beralih
dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
3. Beralih
dari apa yang tuntutan kulli kepada tuntunan yang dikehendaki hukum
pengecualian.
Kedua,
ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk
menempuh cara istihsan oleh mujtahid, dibagi menjadi empat, yaitu:[4]
1. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas
khafi.
2. Istihsan yang sandarannya adalah
nash
3. Istihsan yang sandarannya adalah ‘urf
(adat)
4. Istihsan yang sandarannya adalah dharurat
Ketiga,
menurut asy-Syatibhi, dikalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang dalam praktiknya dinamai istishlah, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:[5]
1. Meninggalkan
dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (kebiasaan).
2. Meninggalkan
dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain
karena didorong oleh pertimbngan kemaslahatan manusia.
3. Meninggalkan
dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikan
kemudahan kepada umat.
2. Perbedaan pendapat
ulama mengenai istihsan
Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok
tentang kehujjahan istihsan. pertama kelompok mazhab Hanafi, Maliki, dan
mazhab Imam bin Hanbal yang berpendapat bahwa istihsan merupkan dalil
syara’. Kelompok kedua yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil
syara’ meliputi asy-Syafi’I, Zahiriyyah, Mu’yazilah dan Syi’ah.[6]
Mazhab
Hanafi, Maliki dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan
hukum dengan beberapa alasan antara lain:
a. Firman
Allah
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ
هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَ
Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antarannya, mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal. (QS. Az-Zumar 39: 18)
Ayat tersebut, menurut
mereka, memuji orang-orang yang mengikuti perkataan yang baik, sedangkan
mengikuti istihsan berarti
mengkuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan
hukum.
b. Sabda rasulullah
مارهالمسلمونحسنافهوعندالله حسن
Apa yang dianggap baik
oleh orang-orang islam adalah juga baik disisi Allah (HR Ahmad dalam Sunnah,
bukan dalam musnadnya)
Hadist ini menurut
pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh
orang-orang islam karena merupakan sesuatu yang baik disisi Allah. Dapat
dijadikan landasan menetapkan hukum.
Sementara itu,
kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan mengemukakan alasan sebagai berikut:[7]
1) Imam
Muhammad ibn Idris al-Syafi’I (w.204 H), pendiri Mazhab Syafi’I, tidak menerima
istihsan sebagai landasan hukum. Menurutnya barangsiapa yang menetapkan
hukum berlandaskam istihsan sama dengan membuat-buat syariat baru dengan
hawa nafsu. [8]
Alasannya antara lain:
a. Ayat
38 surat al-An’am
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَا ءِرٍ يَطِيرُ
بِحَنَا حَيْهِ إلَّا أُ مَمٌ أَمْثَا لُكُمْ مَا
فَرَّ طْنَا فِي الْكِتَا بِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى َبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kmi alpakan sesuatu
pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanmulah mereka dihimpunkan.
b. Ayat
44 surat al-Nahl
بِا
لْبَيِّنَ تِ وَالزُّ بُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّ كْرَ لِتُبَيَّنَ لِلنَّا
سِ مَا نُزِّ لَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.
Ayat
pertama menurut Imam Syafi’I menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk menjawab
segala sesuatu. Ayat kedua menjelaskan bahwa di samping Al-Qur’an ada Sunnah
Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum-hukum yang terkandung dalam
Al-Qur’an, sehingga tidak lagi memelukan istihsan yang merupakan
kesimpulan pribadi.[9]
Disimpulkan
bahwa Ulama
Syafi’iyah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum syara’ karena:
a.
Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan
berdasarkan nash (al-Qur’an dan Hadits) dan pemahaman terhadap nash melalui
qaidah qiyas. Istihsab bukanlah nash dan bukan pula qiyas.
b.
Sejumlah ayat telah menuntut umat
islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan secara tegas melarang
mengikuti hawa nafsu dalam persoalan yang dihadapi manusia.
c.
Istihsan adalah upaya penetapan
hukum dengan akal dan hawa nafsu saja.
d.
Rasulullah SAW tidak prenah
mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
e.
Rasulullah telah membantah fatwa
sebagian sahabat yang berada didaerah ketika mereka menetapkan hukum
berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
f.
Istihsan tidak mempunyai kriteria
dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. [10]
3. Definisi dan macam-macam mashlahah
Pengertian mashlahah
Mashlahah berasal dari kata “shalaha” dengan
penambahan ‘alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan
kata “fasad” (buruk atau rusak). Ia adalah mashdar dengan arti kata
shalah yaitu “manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan”.[11]
Macam-macam mashlahah
Pertama, dari
segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlalah dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Mashlahah
dharuriyah adalah kemashlahatan yang keberadaanya
sangat di butuhkan oleh kehidupan manusia.
2.
Mashlahah hajiyyah
adalah
kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada
tingkat dharuri.
3.
Maslahah
tahsiniyah aadalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak
sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji.
Kedua, berdasarkan
cakupannya menurut jumhur ulama, maslahah dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Al-Mashlahah
yang berkaitan dengan semua orang.
2. Al-Mashlalah yang berkaitan dengan mayoritas orang.
3. Al-Mashlahah yang berkaitan dengan orang-orang tertentu
(khusus
Ketiga, dari
adanya keserasian dan kesejajaran anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum, Mashlahah dibedakan menjadi:
1.
Mashlalah
al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh
syar’I, artinya ada petunjuk dari syar’I
baik secara langsung maupun tidak lansung
2.
Maslahah
al-Mulghah (yang ditolak) yaitu maslahah yang
dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ da nada
petunjuk syara’ yang menolaknya.
3.
Maslahah
al-mursalah atau biasa disebut istislah, yaitu
apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan
tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.[12]
4. Syarat-syarat mashlahah mursalah
Adapun syarat untuk dapat
berijtihad dengan menggunakan maslahah mursalah, diantaranya:
1. Maslahah mursalah itu adalah
mashlalah yang hakiki bukan maslahah wahamiah (angan-angan) dan bersifat umum
dalam artian dapat diterima oleh akal sehat dan benar-benar mendatangkan
manfaat bagi manusia.[13]
2. Yang
akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki benar-benar sejalan dengan maksud
dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum,
3. Yang
dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkam hukum itu tidak berbenturan atau tidak bertentangan
dengan dalil syara’ yang telah ada`
Menurut
Zakaria Al-Farisi dalam kitabnya masadirul ahkamil Islamiyah memberikan syarat antara lain: [15]
1. Hendaknya
kemashlahatan itu bersifat hakiki bukan imajinatif dalam arti manusia yang
membina hukum dengan kemashlahatan akan dapat menarik manfaat dan menolak
madarat bagi umt manusia.
2. Kemashlahatan
hendaknya bersifat universal dan tidak parsial.
3. Hendaknya
kemaslahatan itu bukan kemaslahatan yang mughla (aboriset, concellod) yang
jelas ditolak oleh nas.
REFERENSI
Albak, Kutbuddin. 2008. METODOLOGI
PEMBARUAN HUKUM ISLAM. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Dahlan, Abd. Rahman. 2011.
USHUL FIQH. Jakarta: AMZAH
Efendi, Satria, M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta:
PRENADA MEDIA
Khallaf, Syekh Abdul
Wahab. 2005. ILMU USHUL FIKIH. Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Khalaf, Syekh Abdul Wahab. 1993. Ilmu usul fiqih.
Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Zuhri , Dr. Saifudin. 2011. Ushul Fiqih. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR
[1]
Syekh Abdul Wahab Khalaf. Ilmu usul fiqih, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,
1993) hal 93
[2]
Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2008) hal 150-151
[3]
Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2008) hal 156-159
[4]
Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, (Jakarta: AMZAH, 2011) hal 200-202
[5]
Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2008) hal 150-164
[6]
Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, (Jakarta: AMZAH, 2011) hal 203
[7]
Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, (Jakarta: AMZAH, 2011) hal 205
[8]
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqih,(Jakarta:
PRENADA MEDIA, 2005) hal 145-148
[9]
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqih,(Jakarta:
PRENADA MEDIA, 2005) hal 145-148
[11]
Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2008) hal 186-187
[12]
Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2008) hal 191-198
[13]
Syekh Abdul Wahab Khallaf, ILMU USHUL FIKIH, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,
2005) hal 101
[14]
Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2008) hal 210
[15]
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2011) HAL
102-103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar