Jumat, 16 Juni 2017

ISTIHSAN DAN MASHLAHAH MURSALAH



Nama: Milawati Selvia Anggraeni      (17402163442)
Gayuh Wahyu Pratama           (17402163416)
Siti Rafidah Bin Sugito           (17402163425)
Kelas: II-J
Jurusan: Ekonomi Syariah
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen: Ahmad Yuzki Faridian Nawafi, S.Hum. M.Pd
ISTIHSAN DAN MASHLAHAH MURSALAH
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang di  dalamnya termaktub hukum yang mengatur perilaku umat islam. Hukum Islam dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum yang disepakati meliputi Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas dan sumber hukum yang tidak disepakati meliputi istihsan, istishab, maslahah al mursalah, urf. Adapun penulis akan memaparkan sumber hukum yang tidak disepakati yaitu istihsan dan maslahah mursalah.
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah: 1. Apa definisi dan macam-masam istihsan?. 2. Bagaimana perbedaan pendapat para ulama mengenai istihsan?. 3. Apa definisi dan macam-macam maslahah?` 4. Apa saja syarat-syarat maslahah mursalah?
Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami definisi dan macam-macam istihsan. 2. Untuk mengetahui  pandangan para ulama yang berbeda mengenai istihsan. 3. Untuk mengetahui dan memahami definisi maslahah. 4. Untuk mengetahu berbagai macam syarat maslahah mursalah.
ISI
1.    Definisi dan macam-macam istihsan
Pengertian istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik.  Menurut istilah Ushul yaitu memperbandingkan yang dilakukan oleh mujtahid dari qias jalli (jelas) kepada qias khafi (tersembunyi), atau dari hukum kulli kepada hukum istinai.[1] Istihsan berarti atau “adanya sesuatu yang lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik” atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.[2]
Macam-macam istihsan
Pertama, ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada tiga macam, yaitu[3]
1.      Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas zhahir (qiyas jail) kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi.
2.      Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
3.      Beralih dari apa yang tuntutan kulli kepada tuntunan yang dikehendaki hukum pengecualian.
Kedua, ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, dibagi menjadi empat,  yaitu:[4]
1.      Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi.
2.      Istihsan yang sandarannya adalah nash
3.      Istihsan yang sandarannya adalah ‘urf (adat)
4.      Istihsan yang sandarannya adalah dharurat
Ketiga, menurut asy-Syatibhi, dikalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan  yang dalam praktiknya dinamai istishlah,  dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:[5]
1.      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (kebiasaan).
2.      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain karena didorong oleh pertimbngan kemaslahatan manusia.
3.      Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikan kemudahan kepada umat.
2.    Perbedaan pendapat  ulama mengenai istihsan
Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan. pertama kelompok mazhab Hanafi, Maliki, dan mazhab Imam bin Hanbal yang berpendapat bahwa istihsan merupkan dalil syara’. Kelompok kedua yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil syara’ meliputi asy-Syafi’I, Zahiriyyah, Mu’yazilah dan Syi’ah.[6]
Mazhab Hanafi, Maliki dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan  dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:
a.       Firman Allah
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَ
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antarannya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar 39: 18)
Ayat tersebut, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti perkataan yang baik, sedangkan mengikuti istihsan  berarti mengkuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b.      Sabda rasulullah
مارهالمسلمونحسنافهوعندالله حسن
Apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam adalah juga baik disisi Allah (HR Ahmad dalam Sunnah, bukan dalam musnadnya)
Hadist ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam karena merupakan sesuatu yang baik disisi Allah. Dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.
Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan mengemukakan  alasan sebagai berikut:[7]
1)      Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’I (w.204 H), pendiri Mazhab Syafi’I, tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurutnya barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskam istihsan sama dengan membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. [8] Alasannya antara lain:
a.       Ayat 38 surat al-An’am
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَا ءِرٍ يَطِيرُ بِحَنَا حَيْهِ إلَّا أُ مَمٌ أَمْثَا لُكُمْ مَا فَرَّ طْنَا فِي الْكِتَا بِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى َبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kmi alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanmulah mereka dihimpunkan.
b.      Ayat 44 surat al-Nahl
بِا لْبَيِّنَ تِ وَالزُّ بُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّ كْرَ لِتُبَيَّنَ لِلنَّا سِ مَا نُزِّ لَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
       Ayat pertama menurut Imam Syafi’I menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu. Ayat kedua menjelaskan bahwa di samping Al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, sehingga tidak lagi memelukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi.[9]
Disimpulkan bahwa Ulama Syafi’iyah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ karena:
a.             Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan Hadits) dan pemahaman terhadap nash melalui qaidah qiyas. Istihsab bukanlah nash dan bukan pula qiyas.
b.             Sejumlah ayat telah menuntut umat islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan secara tegas melarang mengikuti hawa nafsu dalam persoalan yang dihadapi manusia.
c.              Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja.
d.             Rasulullah SAW tidak prenah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
e.              Rasulullah telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada didaerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
f.               Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. [10]
3.    Definisi dan macam-macam mashlahah
Pengertian mashlahah
Mashlahah berasal dari kata “shalaha” dengan penambahan ‘alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata “fasad” (buruk atau rusak). Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah yaitu “manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan”.[11]
Macam-macam mashlahah
Pertama, dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlalah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Mashlahah dharuriyah adalah kemashlahatan yang keberadaanya sangat di butuhkan oleh kehidupan manusia.
2.      Mashlahah hajiyyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri.
3.      Maslahah tahsiniyah aadalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji.
Kedua, berdasarkan cakupannya menurut jumhur ulama, maslahah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Al-Mashlahah yang berkaitan dengan semua orang.
2.      Al-Mashlalah  yang berkaitan dengan mayoritas orang.
3.      Al-Mashlahah  yang berkaitan dengan orang-orang tertentu (khusus
Ketiga, dari adanya keserasian dan kesejajaran anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, Mashlahah dibedakan menjadi:
1.      Mashlalah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syar’I, artinya ada petunjuk dari syar’I  baik secara langsung maupun tidak lansung
2.      Maslahah al-Mulghah (yang ditolak) yaitu maslahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ da nada petunjuk syara’ yang menolaknya.
3.      Maslahah al-mursalah atau biasa disebut istislah, yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.[12]
4.    Syarat-syarat mashlahah mursalah
Adapun syarat untuk dapat berijtihad dengan menggunakan maslahah mursalah, diantaranya:
1.      Maslahah mursalah itu adalah mashlalah yang hakiki bukan maslahah wahamiah (angan-angan) dan bersifat umum dalam artian dapat diterima oleh akal sehat dan benar-benar mendatangkan manfaat bagi manusia.[13]
2.      Yang akal sehat sebagai suatu maslahah  yang hakiki benar-benar sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum,
3.      Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah  yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkam hukum itu tidak berbenturan atau tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang telah ada`
4.      Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan.[14]
Menurut Zakaria Al-Farisi dalam kitabnya masadirul ahkamil  Islamiyah  memberikan syarat antara lain: [15]
1.      Hendaknya kemashlahatan itu bersifat hakiki bukan imajinatif dalam arti manusia yang membina hukum dengan kemashlahatan akan dapat menarik manfaat dan menolak madarat bagi umt manusia.
2.      Kemashlahatan hendaknya bersifat universal dan tidak parsial.
3.      Hendaknya kemaslahatan itu bukan kemaslahatan yang mughla (aboriset, concellod) yang jelas ditolak oleh nas.


REFERENSI
Albak, Kutbuddin. 2008. METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Dahlan, Abd. Rahman. 2011. USHUL FIQH. Jakarta: AMZAH
Efendi, Satria,  M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: PRENADA MEDIA
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. ILMU USHUL FIKIH. Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Khalaf, Syekh Abdul Wahab. 1993. Ilmu usul fiqih. Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Zuhri , Dr. Saifudin. 2011.  Ushul Fiqih. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR




[1] Syekh Abdul Wahab Khalaf. Ilmu usul fiqih, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1993) hal 93
[2] Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008) hal 150-151
[3] Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008) hal 156-159
[4] Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, (Jakarta: AMZAH, 2011) hal 200-202
[5] Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008) hal 150-164
[6] Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, (Jakarta: AMZAH, 2011) hal 203
[7] Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, (Jakarta: AMZAH, 2011) hal 205
[8] Satria Efendi, M. Zein,  Ushul Fiqih,(Jakarta: PRENADA MEDIA, 2005) hal 145-148
[9] Satria Efendi, M. Zein,  Ushul Fiqih,(Jakarta: PRENADA MEDIA, 2005) hal 145-148
[11] Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008) hal 186-187
[12] Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008) hal 191-198
[13] Syekh Abdul Wahab Khallaf, ILMU USHUL FIKIH, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2005) hal 101
[14] Kutbuddin Albak, METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008) hal 210
[15] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2011) HAL 102-103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

  Kelompok : 1 2 Nama               : DIAN ARSITA                           MOH.SAIFUL NIZAM                           LUTFIANA...