Nama : Binti
Sofiatul Azizah (17402163423)
Andi Garcia (17402163431)
Siti Wahyu Ningsih (17402163437)
Kelas : 2 J
Jurusan : Ekonomi Syariah
Mata
Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen
Pengampu : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi’, S.Hum. M.Pd.
“ IJMA DAN QIYAS”
PENDAHULUAN
Latar Belakang dari penulisan makalah
ini adalah dalam Islam terdapat sumber
dari segala sumber hokum yaitu Al Qur’an. Namun, terdapat sumber lain yakni
Hadist, Ijma dan Qiyas. Semua dari hokum yang terkandung wajib untuk diterapkan
dalam kehidupan. Suat permasalahan di dunia pasti telah diterangkan
penyelesainnya di dalam Al Qur’an tetapi
apabia di dalam Al Qur’sn tidak dijelaskan secara rinci maka dapat
mengambil hokum dari Hadist, Ijma dan Qiyas. Dalam realita kehidupan sekarang,
dengan perkembangan zaman ang semakin pesat serta problem-problem yang semakin
banyak maka pondasi huku baru lebih dapat dipahami agar dalam penyelesaiaan
masalah tidak keluar dari hokum yang berlaku di masyarakat maupun agama.
Adapun rumusan masalahnya adalah : 1)
Apa definisi dan kehujjahan Ijma? 2) Apa saja pembagian
Ijma? 3) Apa definisi Qiyas dan
kehujjahan qiyas? 4) Apa saja rukun dan syarat Qiyas? 5) Apa saja
macam-macam Qiyas?
Sedangkan tujuannya adalah 1.) Untuk
mengetahui definisi dan kehujjahan Ijma. 2) Untuk mengetahui pembagian Ijma. 3)
Untuk mengetahui definisi dan
kehujjahan Qiyas. 4) Untuk mengetahui rukun dan syarat
Qiyas 5) Untuk mengetahui macam-macam.
PEMBAHASAN
A. DEFINISI DAN KEHUJAHAN IJMA
Definisi Ijma
Ijma menurut istilah ushul ialah sepakat para
mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap
hukum syar’i pada suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa maka
peristiwa itu dikemukakan kepada semua Mujtahid di waktu terjadinya. Para
mujtahid itu sepakat memutuskan atau menentuman hukumnya. Kesepakatan mereka
itu dinamakan Ijma.[1]
Kehujahan Ijma
Jumhur ulama ushul fiqih
berpendapat bahwa apabila rukun” ijma telah terpenuhi maka ijma’ tersebut
menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh
mengingkarinya bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir.[2]
Alasan jumhur ulama Ushul
Fiqih yang mengatakan bahwa ijma merupakan hujjah yang qath’i dan menempati
urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah :
1.
Firman
Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 59 :
Artinya : “wahai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Al Amri
diantara kamu...”
Menurut Jumhur ulama
ushul fiqih, lafal Ulil al-Amr dalam
ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama dan negara.
Ayat lain yang
dikemukakan sebagai kehujahan Ijma adalah Q.S. An Nisa ayat 115
Artinya :
Menurut Al Ghazali ayat
ini menunjukan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti
cara-cara yang di tempuh Umat Islam dianggap sebagai orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya dan menentang Allah dan Rasul hukumnya adalah haram.
2. Alasan Jumhur Ulama dari hadist adalah
sabda Rasulullah SAW :
ان
امتي لا يجتمع على ضلالة
Artinya
: “umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan”
Dalam
hadist lain Rasulullah SAW bersabda :
عليكم
با لجماعة واياكموالفرقة فان الشيطان مع الواحدوهومنالاثنين ابعد
Artinya
: “hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai karena syetan bersama
yang sendiri dan dengan dua orang yang lebih jauh (H.R. At Tirmidzi)
Lebih
lanjut Rasulullah SAW bersabda :
من
فارق الجماعة قيد شبرفقد خلع ربقة الا سلام من عنقه الا ان يرجع
يارسولله وانصلى :
فقلرجلوانصلىوصا مم:وصام؟قل
Artinya : Dari al-Harist al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda : “siapa yang
meniggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya
kecuali jika kembali. Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, walaupun dia sudah
mengerjakan shalat dan puasa? Maka Rasulullah SAW menjawab ; “Walaupun dia
shalat dan puasa” (HR. at Tirmidzi)
Seluruh
hadist itu menurut Abdul Wahhab Khalaf menunjukkan bahwa suatu hukum yang
disepakati seluruh mujtahid. Sebenarnya hukum Umat Islam seluruhnya yang diperankan
oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan
hadist-hadist diatas, tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan
dalam menetapkan hukum.[3]
B. Pembagian Ijma
Ditinjau dari sudut cara
menghasilkan hukum itu, maka ijma’ ini ada dua macam :
a. Ijma Sharih (bersih atau murni)
Yaitu kesepakatan
mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas
mengeluarkan pendapat.
b. Ijma sukuti
Sebagaian mujtahid itu
terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa atau memutuskan suatu
perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui
atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu
masalah.
Adapun di tinjau dari
pihak ini maka ijma itu ada 2 yaitu :
a. Ijma qath’i/ijma sharih, yaitu bahwa
hukumnya itu di qath’i kan olehnya. Tida ada jalan bagi hukum terhadap suatu
peristiwa, dengan adanya khilaf (perbedaan pendapat). Bukan lagi lapangan
ijtihad mengenai suatu peristiwa setelah diadakan sidang ijma sharih terhadap hukum
syar’i.
b. Ijma dzanni, yang menunjukkan atas
hukumnya, yaitu ijma yang hukumnya itu masih diragukan. Dzan itu juga kuat.
Tidak boleh mengeluarkan peristiwa dari lapangan yang dibentuk oleh ijtihad.
Karena merupakan jalan pemikirandari jemaah mujtahid. Bukan keseluruhanya.[4]
C. Definisi dan Kehujjahan Qiyas
Definisi :
Secara bahasa, kata qiyas
berarti qadara artinga mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya.[5]
Secara istilah, qiyas
berarti mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentuka hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum
yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang di
tentukan dalam nash.[6]
Kehujjahan Qiyas :
Menurut ulama-ulama bahwa
qiyas itu adalah hujjah syar’i terhadap hukum asal. Qiyas ini menduduki tingkat
ke empat, hujjah syar’i. Sebab apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat
hukum yang berdasarkan nash, maka peristiwa ini di qiyaskan kepada peristiwa
yang bersamaan sebelum sanksi hukum itu di jatuhka kepadanya. Disamakan dengan
peristiwa-peristiwa yang di qiyaskan itu. Begini yang di atur oleh syariat
Mukallaf dan mengamalkan qiyas ini. Di bahaskan kepada peristiwa yang
berdasarkan Nash. Qiyas ini di akui oleh hukum. Ulama Ushul Fiqih berbeda
pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih
berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode/sarana untuk
mengistinbathkan hukum syara’.[7]
D. Rukun dan Syarat-Syarat Qiyas
Rukun Qiyas :
a. Asal (pokok)
Yaitu peristiwa yang
sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut maqish’alaih (yang menjadi tempat
mengqiyaskan), atau mahmul’alaih
(tempat membandingannya) atau musyabbah (yang
menyerupakannya).[8]
b. Furu’
Yaitu peristiwa yang
tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan
asalnya. Ia juga disebut maqish (yang diqiyaskan) dan musyabbah (yang
diserupakan).[9]
c. Hukum Asal
Yaitu hukum syara’ yang
di tetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu pada
cabangnya.
d. Illat
Yaitu suatu sifat yang
terdapat pada
suatu peristiwa yang asal. Sebab adanya sifat itu mempunyai suatu hukum dan
oleh karena itu terdapat pula pada cabang, maka disamakan hukum cabang itu
dengan hukum peristiwa asal. Rukun qiyas yang ke empat adalah terpenting untuk
di bahas karena illat qiyas merupakan asasnya.[10]
Syarat Qiyas :
a. Hendaklah hukum asalnya tidak berubah ubah
atau belum di hasilkan artinya hukum tetap berlaku.
b. Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya
menurut agama
c. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal
berlaku pada qiyas
d. Tidak boleh hukum furu’ terdahulu dari
hukum asal karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya.
e. Hendaklah sama illat yang ada pada furu’
dengan illat yang ada pada asal
f. Tiap-tiap ada illat tidak ada hukum dan
tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.
g. Tidak boleh illat itu bertentangan menurut
ketentuan-ketentuan agama. Artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.[11]
E. Pembagian Qiyas
Pembagian Qiyas dari segi
kekuatan illat hang terdapat pada furu’, dibandingkan pada illat yang terdapat
pada ashal, dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Qiyas Awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya
hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ash karena kekuatan
‘illat pada furu’. Misalnya mengqiyaskan keharaman memukul orang tua di
qiyaskan kepada ucapan “uf” (berkata kasar) terhadap orang tua dengan illat.
b. Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang berlakunya
hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum ashal karena
kekuatan illatnya sama. Misalnya :
mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut
dalam menetapkan hukum haramnya.
c. Qiyas al-Adwan, yaitu qiyas yang
berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah di bandingkan dengan berlakunya hukum
pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
Pembagian
qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya, ada dua yaitu :
a. Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya
ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau tidak
ditetapkan ‘illat itu dalam nash, namu titik perbedaan antara ashal dengan
furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Contoh : bentuk pertama, qiyas
memukul orang tua kepada ucapan “uf” dengan illat menahan menyakiti orang tua
yang dalam ayat Al Qur’an manusia di surub berbuat baik pada orang tua.
b. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya
tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya di istinbatkan dari hukum ashal yang
memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni. Misal : mengqiyaskan
pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam
penetapan hukum qishash dengan illat pembunuhan yang di sengaja dalam bentuk
permusuhan. Illat ini kedudukannya dalam ashal lebih jelas dibandingkan dengan
kedudukan dalam furu’.
Pembagian
qiyas dari segi keserasian illatnya
dengan hukum, di bagi menjadi 2 yaitu :
a.
Qiyas
Muatstsir, yaitu qiyas yang illatnya penghubung antara ashal dan furu’ di
tetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’.
b. Qiyas Mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum
ash dalam hubungannya dengan hukum haram adalah bentuk munasib mulaim.
Pembagian
qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu di bagi menjadi 3
yaitu :
a. Qiyas al-ma’na atau qiyas makna ashal,
yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara
ashal dan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seolah-olah itu sendiri.
b. Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya
dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.
c. Qiyas ad-dilalah, yaitu qiyas yang
illatnya bukan pendoronv bagi penetapan hukum itu sendir, namun iamerupaka keharusa
(kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
Pembagian
Qiyas dari segi metode yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’ ada 4 jenis
yaitu :
a. Qiyas al-ikhalah, yaitu qiyas yang illat
hukumnya ditetapkan melaui metode munasabah dan ikhlah.
b. Qiyas asy-syabah, yaitu qiyas yang illat
hukm ashal-nya ditetapkan melaui metode syabah.
c. Qiyas as-sabr, yaitu qiyas yang illat
hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d. Qiyas ath-thard, yaitu qiyas yang illat
hukum ashal-nya melalui metode thard.[12]
REFERENSI
Aibak,
Kutbuddin. 2008. Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
Abdullah,
Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. (Jakarta
: Sinar Grafika)
Bakry,
Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh.
(Jakarta : PT. Raja Grafindo)
Haroen,
Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. (Jakarta :
Logos Wacana Ilmu)
Khallaf,
Syekh Abdul. 2005. Ilmu Ishuk Fikih.
(Jakarta : PT. Rineka Cipta)
Syarifuddin,
Amir. 1997. Ushul Fiqh. (Jakarta :
PT. Logos Wacana Ilmu)
Syafe’i,
Rachmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqih. (
Bandung : CV. Pustaka Setia)
Tim
Kajian Keislaman Nurul Ilmi. Buku Induk
Terlengkap Agama Islam. (Jakarta Selatan : PT. Suka Buku)
[1]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003) hal.48
[2]Nasution Haroen, Ushul Fiqih, (Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 1997) hal 54.
[3]Ibid., hal. 56
[4]Syeckh Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005) hal. 56-57
[5]Kutubuddin Nata, Metodlogi Pembaharuan Hukum
Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008) hal. 80
[6]H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta
: Sinar Grafika, 1995) hal. 82
[7]Syeckh Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005) hal. 60
[8]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fikih, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 1998) hal. 87
[9]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta
: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997) hal. 168
[10]Tim Kajian Keislaman Nurul Ilmi, Buku Induk
Terlengkap Agama Islam. (Jakarta Selatan : PT Suka Buku) hal 145.
[11]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003) hal. 51
[12]Kutubuddin Nata, Metodlogi Pembaharuan Hukum
Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008) hal. 145-150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar