Jumat, 09 Juni 2017

“ IJMA DAN QIYAS”



Nama                  : Binti Sofiatul Azizah         (17402163423)
Andi Garcia                      (17402163431)
Siti Wahyu Ningsih          (17402163437)
Kelas                   : 2 J
Jurusan                : Ekonomi Syariah
Mata Kuliah         : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Ahmad Yuzki Faridian Nawafi’, S.Hum. M.Pd.

“ IJMA DAN QIYAS”

PENDAHULUAN
          Latar Belakang dari penulisan makalah ini adalah dalam Islam terdapat sumber dari segala sumber hokum yaitu Al Qur’an. Namun, terdapat sumber lain yakni Hadist, Ijma dan Qiyas. Semua dari hokum yang terkandung wajib untuk diterapkan dalam kehidupan. Suat permasalahan di dunia pasti telah diterangkan penyelesainnya di dalam Al Qur’an tetapi  apabia di dalam Al Qur’sn tidak dijelaskan secara rinci maka dapat mengambil hokum dari Hadist, Ijma dan Qiyas. Dalam realita kehidupan sekarang, dengan perkembangan zaman ang semakin pesat serta problem-problem yang semakin banyak maka pondasi huku baru lebih dapat dipahami agar dalam penyelesaiaan masalah tidak keluar dari hokum yang berlaku di masyarakat maupun agama.
            Adapun rumusan masalahnya adalah : 1) Apa definisi dan kehujjahan Ijma?  2) Apa saja pembagian Ijma?  3) Apa definisi Qiyas dan kehujjahan qiyas? 4) Apa saja rukun dan syarat Qiyas?  5) Apa saja macam-macam Qiyas?
          Sedangkan tujuannya adalah 1.) Untuk mengetahui definisi dan kehujjahan Ijma.  2) Untuk mengetahui pembagian Ijma.  3) Untuk mengetahui definisi dan kehujjahan Qiyas.  4) Untuk mengetahui rukun dan syarat Qiyas  5) Untuk mengetahui macam-macam.

PEMBAHASAN
A.    DEFINISI DAN KEHUJAHAN IJMA
Definisi Ijma
Ijma menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i pada suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua Mujtahid di waktu terjadinya. Para mujtahid itu sepakat memutuskan atau menentuman hukumnya. Kesepakatan mereka itu dinamakan Ijma.[1]
Kehujahan Ijma
Jumhur ulama ushul fiqih berpendapat bahwa apabila rukun” ijma telah terpenuhi maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir.[2]
Alasan jumhur ulama Ushul Fiqih yang mengatakan bahwa ijma merupakan hujjah yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah :



1.      Firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 59 :
Artinya : “wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Al Amri diantara kamu...”
Menurut Jumhur ulama ushul fiqih, lafal Ulil al-Amr dalam ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama dan negara.
Ayat lain yang dikemukakan sebagai kehujahan  Ijma adalah Q.S. An Nisa ayat 115
Artinya :
Menurut Al Ghazali ayat ini menunjukan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang di tempuh Umat Islam dianggap sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya dan menentang Allah dan Rasul hukumnya adalah haram.

2.      Alasan Jumhur Ulama dari hadist adalah sabda Rasulullah SAW :
ان امتي لا يجتمع على ضلالة
Artinya : “umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan”
Dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda :
عليكم با لجماعة واياكموالفرقة فان الشيطان مع الواحدوهومنالاثنين ابعد
Artinya : “hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai karena syetan bersama yang sendiri dan dengan dua orang yang lebih jauh (H.R. At Tirmidzi)
Lebih lanjut Rasulullah SAW bersabda :
من فارق الجماعة قيد شبرفقد خلع ربقة الا سلام من عنقه الا ان يرجع
 يارسولله وانصلى : فقلرجلوانصلىوصا مم:وصام؟قل
Artinya : Dari al-Harist al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda : “siapa yang meniggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya kecuali jika kembali. Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, walaupun dia sudah mengerjakan shalat dan puasa? Maka Rasulullah SAW menjawab ; “Walaupun dia shalat dan puasa” (HR. at Tirmidzi)

Seluruh hadist itu menurut Abdul Wahhab Khalaf menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid. Sebenarnya hukum Umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadist-hadist diatas, tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.[3]

B.     Pembagian Ijma
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma’ ini ada dua macam :
a.       Ijma Sharih (bersih atau murni)
Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat.
b.      Ijma sukuti
Sebagaian mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa atau memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu masalah.
Adapun di tinjau dari pihak ini maka ijma itu ada 2 yaitu :
a.       Ijma qath’i/ijma sharih, yaitu bahwa hukumnya itu di qath’i kan olehnya. Tida ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa, dengan adanya khilaf (perbedaan pendapat). Bukan lagi lapangan ijtihad mengenai suatu peristiwa setelah diadakan sidang ijma sharih terhadap hukum syar’i.
b.      Ijma dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma yang hukumnya itu masih diragukan. Dzan itu juga kuat. Tidak boleh mengeluarkan peristiwa dari lapangan yang dibentuk oleh ijtihad. Karena merupakan jalan pemikirandari jemaah mujtahid. Bukan keseluruhanya.[4]

C.     Definisi dan Kehujjahan Qiyas
Definisi :
Secara bahasa, kata qiyas berarti qadara artinga mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya.[5]
Secara istilah, qiyas berarti mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentuka  hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang di tentukan dalam nash.[6]
Kehujjahan Qiyas  :
Menurut ulama-ulama bahwa qiyas itu adalah hujjah syar’i terhadap hukum asal. Qiyas ini menduduki tingkat ke empat, hujjah syar’i. Sebab apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat hukum yang berdasarkan nash, maka peristiwa ini di qiyaskan kepada peristiwa yang bersamaan sebelum sanksi hukum itu di jatuhka kepadanya. Disamakan dengan peristiwa-peristiwa yang di qiyaskan itu. Begini yang di atur oleh syariat Mukallaf dan mengamalkan qiyas ini. Di bahaskan kepada peristiwa yang berdasarkan Nash. Qiyas ini di akui oleh hukum. Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode/sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.[7]

D.    Rukun dan Syarat-Syarat Qiyas
Rukun Qiyas :
a.       Asal (pokok)
Yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut maqish’alaih (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau mahmul’alaih (tempat membandingannya) atau musyabbah (yang menyerupakannya).[8]
b.      Furu’
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut maqish (yang diqiyaskan) dan musyabbah (yang diserupakan).[9]
c.       Hukum Asal
Yaitu hukum syara’ yang di tetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu pada cabangnya.
d.      Illat
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal. Sebab adanya sifat itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena itu terdapat pula pada cabang, maka disamakan hukum cabang itu dengan hukum peristiwa asal. Rukun qiyas yang ke empat adalah terpenting untuk di bahas karena illat qiyas merupakan asasnya.[10]

Syarat Qiyas :
a.       Hendaklah hukum asalnya tidak berubah ubah atau belum di hasilkan artinya hukum tetap berlaku.
b.      Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama
c.       Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pada qiyas
d.      Tidak boleh hukum furu’ terdahulu dari hukum asal karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya.
e.       Hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal
f.       Tiap-tiap ada illat tidak ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.
g.      Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama. Artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.[11]

E.     Pembagian Qiyas
Pembagian Qiyas dari segi kekuatan illat hang terdapat pada furu’, dibandingkan pada illat yang terdapat pada ashal, dibagi menjadi tiga yaitu :
a.       Qiyas Awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ash karena kekuatan ‘illat pada furu’. Misalnya mengqiyaskan keharaman memukul orang tua di qiyaskan kepada ucapan “uf” (berkata kasar) terhadap orang tua dengan illat.
b.      Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum ashal karena kekuatan  illatnya sama. Misalnya : mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haramnya.
c.       Qiyas al-Adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah di bandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya, ada dua yaitu :
a.       Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash, namu titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Contoh : bentuk pertama, qiyas memukul orang tua kepada ucapan “uf” dengan illat menahan menyakiti orang tua yang dalam ayat Al Qur’an manusia di surub berbuat baik pada orang tua.
b.      Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya di istinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni. Misal : mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam penetapan hukum qishash dengan illat pembunuhan yang di sengaja dalam bentuk permusuhan. Illat ini kedudukannya dalam ashal lebih jelas dibandingkan dengan kedudukan dalam furu’.
Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan hukum, di bagi menjadi 2 yaitu :
a.       Qiyas Muatstsir, yaitu qiyas yang illatnya penghubung antara ashal dan furu’ di tetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’.
b.      Qiyas Mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ash dalam hubungannya dengan hukum haram adalah bentuk munasib mulaim.
Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu di bagi menjadi 3 yaitu :
a.       Qiyas al-ma’na atau qiyas makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seolah-olah itu sendiri.
b.      Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.
c.       Qiyas ad-dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendoronv bagi penetapan hukum itu sendir, namun iamerupaka  keharusa  (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
Pembagian Qiyas dari segi metode yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’ ada 4 jenis yaitu :
a.       Qiyas al-ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melaui metode munasabah dan ikhlah.
b.      Qiyas asy-syabah, yaitu qiyas yang illat hukm ashal-nya ditetapkan melaui metode syabah.
c.       Qiyas as-sabr, yaitu qiyas yang illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d.      Qiyas ath-thard, yaitu qiyas yang illat hukum ashal-nya melalui metode thard.[12]
REFERENSI
Aibak, Kutbuddin. 2008. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. (Jakarta : Sinar Grafika)
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. (Jakarta : PT. Raja Grafindo)
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu)
Khallaf, Syekh Abdul. 2005. Ilmu Ishuk Fikih. (Jakarta : PT. Rineka Cipta)
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu)
Syafe’i, Rachmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqih. ( Bandung : CV. Pustaka Setia)
Tim Kajian Keislaman Nurul Ilmi. Buku Induk Terlengkap Agama Islam. (Jakarta Selatan : PT. Suka Buku)


        







   




[1]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003) hal.48
[2]Nasution Haroen, Ushul Fiqih, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) hal 54.
[3]Ibid., hal. 56
[4]Syeckh Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005) hal. 56-57
[5]Kutubuddin Nata, Metodlogi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008) hal. 80
[6]H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995) hal. 82
[7]Syeckh Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005) hal. 60
[8]Rachmat Syafe’I,  Ilmu Ushul Fikih, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hal. 87
[9]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997) hal. 168
[10]Tim Kajian Keislaman Nurul Ilmi, Buku Induk Terlengkap Agama Islam. (Jakarta Selatan : PT Suka Buku) hal 145.
[11]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003) hal. 51
[12]Kutubuddin Nata, Metodlogi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008) hal. 145-150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTLAQ, MUQAYYAD, MANTUQ, MAFHUM

  Kelompok : 1 2 Nama               : DIAN ARSITA                           MOH.SAIFUL NIZAM                           LUTFIANA...